Siapa yang tak kenal sosok ulama yang satu ini. Namanya sudah tersohor di seantero negeri. Dialah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, seorang ulama asal Banjar, Kalimantan Selatan. Ajaran tasawufnya tetap hidup hingga kini.
Nama lengkapnya Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Dia dilahirkan di Desa Lok Gabang yang sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjarmasin, pada 15 Shafar 1122 H atau 17 Maret 1719M. Dia wafat pada 6 Syawal 1227 H atau bertepatan dengan tanggal 13 Oktober 1812 M di kampung Dalam Pagar. Jenazahnya dikebumikan di Kalampaian, Martapura, Kalimantan Selatan.
Selama masa hidupnya, Al-Banjari tinggal di dua tempat yang mempengaruhi jalan hidupnya kelak, yaitu di Martapura sebagai kampung halamannya yang juga tempat kelahirannya dan tempatnya berdakwah hingga wafatnya. Selain itu, Al-Banjari tinggal di Tanah Suci Mekkah dan Madinah. Di dua tempat ini ia menuntut ilmu dan berguru kepada ulama-ulama besar, sampai akhirnya nanti Al-Banjari menjadi pengajar di Masjidil al-Haram Mekkah.
Situasi kultural dan srtuktural pada masa Al-Banjari, yaitu sekitar abad ke-18 dan ke-19 awal, tentu saja sangat mempengaruhi pemikiran keagamaannya di berbagai bidang. Pada masa hidupnya, Al-Banjari bertemu dengan empat raja Kerajaan Banjar di Martapura yang waktu itu bertakhta, yaitu Sultan Tahlilullah Raja Banjar XIV (1799-1745 M), Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV (1700-1745 M), Sultan Tahmidillah Raja Banjar XVI (1778-1808 M), dan yang terakhir yaitu Sultan Suleman Raja Banjar ke XVII (1808-1825 M). Dari keempat sultan tersebut, yang membiayai perjalanan dan pendidikan Al-Banjari di Tanah Suci adalah Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV.
Sebelum Al-Banjari berdakwah hampir tak ditemukan data yang menunjukkan situasi keberagamaan masyarakat Islam waktu itu. Namun dapat diperkirakan bahwa di bidang akidah mereka masih terpengaruh oleh unsur-unsur kepercayaan Kaharingan dan juga Hindu Syiwa yang sudah mengakar dalam budaya mayarakat, baik di kalangan rakyat maupun kalanagan raja dan para bangsawan.
Hal ini bisa kita lihat saat ada upacara adat, seperti mandi badus, yaitu mandinya calon pengantin, mandi tian man daring, yaitu mandinya wanita waktu hamil pertama pada bulan ketujuh, dan menyanggar banua atau membersihkan kampung tempat tinggal dari gangguan jin ataupun roh-roh jahat. Tentu, dalam pelaksanaannya ritual-ritual tersebut bercampur dengan unsur-unsur Islam dan budaya. Selain itu masyarakat Banjar senang berteman dengan jin agar memperoleh ilmu mutawakkal, yaitu suatu ilmu untuk mengetahui sesuatau hal gaib yang disampaikan jin.