Makassar dikenal sebagai kota yang bersuhu panas. Tanpa hujan, yang ada di ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan itu hanya debu kering sisa pasir pantai. Mungkin juga karena kemarau terlampau panjang.
Tapi itu hanyalah sedikit kesedihan, dibandingkan dengan banyak kesenangan yang saya dapatkan di Makassar. Makassar yang menyenangkan pada akhir Oktober tahun ini. Selain jalan-jalan dan kuliner yang istimewa, saya memiliki pengalaman khusus ketika datang ke Kota Daeng. Saya dengan sedikit “terpaksa” harus sowan ke kediaman KH Sanusi Baco.
Siapa KH Sanusi Baco? Saya tak tahu banyak. Tapi, Google menyelamatkan saya dengan seribu cara. Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Makassar, sekaligus Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan.
Alasan yang paling tepat kenapa saya menemuinya adalah karena beliau sahabat Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid. “Kesalahan” saya adalah saya sowan pada jam yang kurang sopan. Sekitar jam 4 sore, ketika matahari sudah mulai lingsir, tak lama lagi adzan maghrib berkumandang. Tapi apa boleh buat, Makassar tidak kalah macet dengan Jakarta. Waktu habis di jalan, tapi saya tak boleh resah. Yang penting niat untuk berkunjung sudah sah.
Saya datang tidak sendiri. Berkunjung bersama teman-teman degan berbagai latar belakang ilmu dan agama. Kami duduk di ruang tamu. Sementara menunggu, teh hangat datang menemani beberapa suguhan di atas meja. Kami duduk berjejer, menanti dengan galau kemunculan Anre Gurutta KH Sanusi Baco. Tak lama, seorang ulama kharismatik hadir di hadapan kami. Menanyakan asal dan tujuan kami hadir bertandang. Anggukan beliau memulai percakapan dalam hening.
“Sudah lama saya tidak berjumpa dengan Gus Dur,” KH Sanusi Baco mengawali ceritanya saat mengetahui latar belakang kami. “Sekitar 70 tahun yang lalu, kami bersama-sama menaiki kapal laut menuju Mesir. Waktu itu saya mendapatkan beasiswa dari Kementrian Agama untuk sekolah ke Mesir. Waktu itu Menterinya adalah Saifuddin Zuhri. Saya adalah perwakilan dari Makassar. Perjalanan menaiki kapal cukup lama, sebulan lebih. Mungkin, kalau Gus Dur tidak ada, suasana kapal akan sangat membosankan. Beliau melawak hampir setiap saat, seakan tidak pernah rela melihat teman-temannya bersedih atau bosan karena perjalanan yang cukup panjang.”