Secara garis besar, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Indikasinya dapat dilihat dengan menjamurnya organisasi masyarakat atau Ormas dengan keislaman sebagai ruh gerakan. Semua itu tidak lepas dari agama Islam sebagai mayoritas.
Namun, di Indonesia juga hidup beragam agama. Di tengah heterogennya agama, budaya, dan kultur, Indonesia menjadi alasan untuk dapat disebut sebagai negara yang sangat majemuk. Kendatipun begitu, kenyataan ini acapkali dihadapkan pada sebuah persoalan, salah satunya yang erat hubungannya dengan agama itu sendiri.
Hal ini bisa dilihat dari maraknya kaum-kaum Islam kanan, yang memobilisasi pemurnian ajaran Islam. Seolah-olah ajarannya yang paling benar di setiap sikap maupun pernyataan yang dilontarkan ke publik. Padahal pemikirannya sangat inkonstitusional dan terkesan tekstualis dalam menyikapi persoalan yang berbau agama. Buktinya, gerakan Islam kanan, seperti HTI dibubarkan oleh pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 karena dianggap menabrak benteng ideologi bangsa, yakni Pancasila.
Persoalan yang kerap kali digiring dalam urusan agama, yakni perbedaan pandangan dalam beragama yang mengarah ikhwal teologi. Padahal, sebenarnya itu adalah hak masing-masing sebagai rakyat Indonesia, sebagaimana amanah UUD 45 dalam Pasal 28E ayat 1 dan juga sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 256. Adanya perbedaan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik antaragama dan sesama Islam itu sendiri.
Contoh kecilnya ketika tahun baru Masehi. Beberapa golongan umat Islam melarang bahkan seorang muslim lain untuk mengucapkan Selamat Hari Natal pada umat Kristiani, karena berbeda agama dan keyakinan. Padahal, dalam Islam kita ketahui banyak sekali hasil ijtihad para ulama yang berbentuk fatwa, walaupun hasilnya berbeda dari ijtihad tersebut. Dengan begitu, semestinya harus lebih dewasa dalam beragama agar tidak memunculkan embrio intoleransi -bahkan memunculkan sikap takfiri — hanya karena ketidakpahaman dalam memahami hukum dalam Islam.
Justru hal seperti ini, jika dibiarkan nantinya akan menimbulkan sikap intoleransi di kalangan umat beragama. Maka dari itu perlu ada satu benang merah untuk menengahi persoalan yang terus-menerus terjadi. Karena masifnya intoleransi merupakan akar dari tidak pahamnya sebuah agama, maka diperlukan adanya institusi yang dapat memberikan pencerahan dalam persoalan agama, yakni pesantren. Di sini, pusat pendidikan yang masih konsisten dan berbasis keislaman adalah pesantren. Maka, seharusnya santrilah yang nantinya dapat mengedukasi publik dalam hal agama.