Ruh Landaur tersenyum, wajahnya binar, sebinar rekah melati yang ia genggam, saat melihat jejak kakiknya masih memancar air. Jejak kaki yang menjadi sumur dan berpencar di berbagai desa di Sumenep. Orang-orang mengerumuninya untuk menimba air dari jejak kaki itu, sebagai obat ampuh bagi segala penyakit.
Sesekali, ruh Landaur merapikan juntai rambutnya yang kusam, di antara datar kulit keriputnya yang harum tanah, ujungnya menyentuh lapis kafan yang jadi gaun kebesarannya. Hatinya bahagia. Tak sia-sia ia bangkit dari tempat peristirahatannya untuk melihat sumur-sumur yang tercipta dari jejak kakinya itu. Orang-orang Sumenep mengenal sumur itu dengan sebutan sumur Tanto. Ruh Landaur melayang dari satu sumur Tanto ke sumur Tanto yang lain. Lekas sekali. Dan sesekali mengatur arah kupingnya ke arah tempat peristirahatannya. Khawatir malaikat akan memanggilnya, ketika durasi waktu satu jam untuk bermain yang diberikan kepadanya habis.
Sambil melihat sumur Tanto, tak lupa ia cium setangkai melati yang digenggamnya. Ia masih menyukai bunga itu, sebagaimana dulu sebelum mati, ketika dirinya masih utuh sebagai manusia, karena baginya, melati adalah lambang hati yang suci.
Senyum ruh Landaur kian rekah. Terkenang masa lalunya, ketika kawasan Sumenep bagian timur daya dipimpin oleh raja keji Dulkemmek Banakeron. Saat itu, wilayah timur daya kesulitan air, nyaris tak satu pun mata air memancar di tanah garam itu. Kalau pun ada, pasti debit airnya sangat tipis dan akan habis oleh belasan timba saja. Sang Raja menekan rakyat—mulai dari orang jompo hingga anak-anak—untuk mengangkut air dari daerah lain ke kerajaan, tentu dengan ragam siksaan yang keras dari para prajuritnya yang juga jahat. Sedangkan rakyat yang tidak bisa mengangkut air, harus membayar denda. Ruh Landaur itu—yang saat itu masih sempurna sebagai manusia—tak rela melihat penderitaan rakyat. Ia berjuang melawan raja zalim itu bersama rakyat, terlebih ketika kedua orang tuanya dipenjara oleh raja.