Tidak bisa dimungkiri, eksistensi era digital menjadikan tatanan dunia berubah begitu kompleks. Segala ruang, riuh informasi. Bergulir secara masif, variatif, dan borderless (tak terbatas). Dunia digital, dunia yang tumbuh sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi, kini, benar-benar menjamur masuk dalam segala lini kehidupan. Kita tidak bisa menampik dari efek getaran yang ditimbulkan. Di mana kesehariannya tidak pernah alpa disodori asupan informasi.
Dalam perspektif tertentu, hal demikian tentu bagus. Sebab, keberlimpahan informasi membuahkan poin positif bagi kita semua. Yakni, menambah khazanah pengetahuan hingga memperoleh beragam informasi berita dengan mudah dan cepat. Akan tetapi, di sisi lain juga sangat rentan berdampak negatif. Lebih-lebih, dunia digital nihil dari sosok pengontrol. Konsekuensi logisnya, lajur informasi pasti bakal bergerak semuanya dan semaunya. Hal itu memancing lahirnya persoalan-persoalan baru penuh intrik.
Komodifikasi-distribusi informasi yang melimpah ruah, pada gilirannya acapkali dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk menggelontorkan sentimen kebencian, pemelintiran fakta (hoax), dan ujaran berita-berita palsu (fake news). Ironisnya, ekspresi kebohongan yang membanjiri dunia maya tersebut justru menyebar dengan jangkauan lebih cepat, lebih dalam, lebih luas dan lebih diminati dibandingkan dengan berita-berita yang berarusutama dengan kredibilitas dan kebenaran (real news) yang lebih terjaga.
Situasi demikian terkenal dengan sebutan post truth (pasca kebenaran). Fenomena post truth mulai menyeruak ke kancah publik tatkala Oxford (2016) menobatkannya sebagai “Word of the Years”. Oxford Dictionary mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta-fakta objektif mengalami kekaburan dalam pembentukan opini publik. Masyarakat bertendensi mempercayai sesuatu yang pada dasarnya sejalan dengan apa yang diyakini (nalar subjektif), bukan mengedepankan pada informasi yang bersandar pada kaidah kebenaran faktual (nalar objektif).
Masyarakat, kini, sudah diselubungi antitesis dari sebuah kebenaran yang hakiki. Kebenaran tidak lagi relevan dari makna paripurna. Kebenaran mengalami defisit di antara kepungan ego dan kepentingan politik. Kebohongan menjadi sebuah, meminjam istilah Wahyono, “dogma yang diamini” masyarakat. Post truth telah menjebak masyarakat pada relativisme kebenaran sebelum adanya upaya dialog interaktif. Ia menghasilkan irisan tipis antara kebenaran dan kebohongan, serta kejujuran dan hipokritas.