Ada banyak jalan menuju Roma.
Begitu bunyi pepatah yang telah muncul sejak kekaisaran Romawi ribuan tahun lalu. Artinya, ada lebih dari satu cara untuk mencapai tujuan yang sama. Termasuk dalam menjalani kehidupan. Siapa pun, tak terkecuali, pasti ingin hidup bahagia. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia pasti rela melakukan apa saja.
![](https://i0.wp.com/www.duniasantri.co/wp-content/uploads/2022/09/Duniasantri-Telegram-Acquistion.jpeg?fit=1280%2C720&ssl=1)
Begitu juga, berbagai jalan juga ditempuh umat muslim demi meraih kebahagiaan. Ada yang memilih mengabdikan diri kepada umat. Ada yang lewat jalur mendermakan harta kekayaan. Ada pula yang menjauh dari hiruk pikuk dunia dan hidup di pengasingan. Namun, dari sekian jenis jalan itu, ada satu jalan yang tidak banyak diketahui; mengikuti tips-tips yang tertulis dalam kajian ilmu nahu.
Meski memiliki segudang faedah, banyak orang beranggapan ilmu nahu tidak terlalu penting untuk dipelajari. Terutama oleh pelajar perempuan yang telanjur mendapat cap di masyarakat luas bahwa alur hidupnya hanya sebatas sekolah, kuliah -kalau ada biaya-, nikah, dan mengurus rumah. Buat apa bersusah payah belajar Jurumiyyah hingga Alfiyyah, kalau ujung-ujungnya tetap berdiam di rumah? Lebih baik mempelajari cara-cara ibadah, cara bermuamalah, atau cara membuat suami betah. Begitu kira-kira alibi mereka.
Stigma tersebut tidak benar dan tidak boleh terus dibiarkan. Justru, sebelum menguasai disiplin ilmu apa pun, seorang pelajar harus menaklukkan ilmu nahu-saraf terlebih dahulu. Sebagaimana ungkapan yang populer,
أنَّ الصَّرفَ أمُّ العلوم والنحو أبوها
“Sungguh, saraf itu adalah induk dari segala ilmu dan nahu adalah bapaknya.”
Bahkan, dalam mukadimah kitab Mukhtashar Jiddan disebutkan bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah tidak akan menerima doanya orang yang malhun (orang yang keliru dalam i’rab).” Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu nahu.
Namun, realitanya sebagian orang tetap saja malas mempelajari ilmu nahu. Berbagai alasan mereka kemukakan. Selain dianggap rumit dan perlu latihan panjang, disiplin ilmu yang satu ini juga diklaim tidak pragmatis. Hal ini sangat berbeda dengan fan lain yang dianggap lebih bersifat praktis, seperti ilmu fikih, tafsir, dan tasawuf.