Profesor Klaus Martin Schwab (2010) menyebutkan bahwa saat ini manusia berada pada awal sebuah revolusi, yang secara fundamental mengubah cara hidup, cara bekerja, dan cara berinteraksi. Revolusi industri 4.0, yang “disokong” pandemi global saat ini, menahbiskan masyarakat untuk “memaksakan diri” lebih dekat dan akrab dengan cyberworld. “New Normal” yang digadang-gadang berpotensi besar menghasilkan peradaban baru, di mana manusia dituntut berpikit inovatif, modernis, dan menjadi bagian tidak terpisahkan dengan teknologi informasi dan komunikasi.
Dampak revolusi industri 4.0 ini melahirkan era disrupsi, yang merupakan transformasi, yang menggeser atau mengubah hal tertentu. Awalnya dilakukan di dunia nyata, kemudian diubah dilakukan ke dunia maya. Jargonnya: Berubah atau Punah, Berinovasi Digital atau Tertinggal. Inilah era disrupsi ,yang diyakini telah memengaruhi setiap perubahan, secara fundamental, untuk memenangkan kompetisi global, termasuk perubahan mental spiritual. Mencuatnya perilaku sekularisme, radikalisme, dan agnotisisme sebagai akibat meningkatnya daya intelektualitas manusia.
Berdasarkan survei indeks populasi, perkembangan atheis dan agnostic terus meningkat, dari 0,4% pada tahun 2004 menjadi kurang lebih 4% pada tahun 2012. Menurut The Pew Forum, pada tahun 2010 penganut agnostik (tidak ada afiliasi agama) di dunia mencapai 16%. Data PEW melemahkan teori sekularisme. Jumlah orang tidak beragama diperkirakan meningkat dalam beberapa dekade sebelumnya, tetapi jumlah yang beragama juga berlipat, yang didasarkan oleh percepatan pertumbuhan penduduk, kesulitan ekonomi, migrasi, dan kerusuhan agama dan politik.
Tentang Agnotisisme
Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (artinya: tahu, mengetahui) dan a (artinya: tidak). Arti harfiahnya “seseorang yang tidak mengetahui”. Thomas Henry Huxley, seorang ahli biologi Inggris, mencetuskan kata agnostic pada 1869. Perilaku agnostisisme didefinisikan sebagai paham yang tidak menyangkal keberadaan Tuhan secara mutlak, dan agama hanya dianggap sebagai “identitas kependudukan” atau sebuah konsep.
Dengan itu, ada kecenderungan masyarakat modern memandang orang beragama sudah konvensional, using, “jadul”, kurang menarik! Ada anggapan karena alasan agama, orang sering menampakkan perilaku yang kurang bersahabat dengan sesama, saling mencaci, menghina, menyakiti, bahkan saling serangdan baku hantam. Di sini seorang agnostik akan menemukan “pembenaran”, bukan kebenaran. Maka, tidak heran penganut agnostik rata-rata dari kaum muda, the smart people, free thinker, cendekia yang mencari pembenaran secara subjektif.