Pondok Pesantren Tanwirul Hija Desa Cangkreng, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur termasuk dalam catatan pesantren tertua di Sumenep. Dengan kesederhanaannya, salah satu Pesantren Tanwirul Hija telah melahirkan banyak kiai atau ahli agama.
Seperti lazimnya pondok pesantren lainnya, Pesantren Tanwirul Hija juga menganut sistem pengajaran klasik yang mengutamakan pengajaran keagamaan atau sering dikenal sistem salafiyah.
![](https://i0.wp.com/www.duniasantri.co/wp-content/uploads/2022/09/Duniasantri-Telegram-Acquistion.jpeg?fit=1280%2C720&ssl=1)
Terletak di Desa Cangkreng, berjarak sekitar 15 km dari ibu kota kabupaten, pesantren ini didirikan oleh KH Khotib Bin Abdurrahem bersama istri tercintanya Nyi Hj Raudlah Binti H pada 1950. Saat itu, santrinya cuma lima orang. Dan mereka akhirnya menjadi kiai disegani. Mereka adalah KH Moh Ikhsan (Lembung), KH Abdurrahman (Poreh), KH Suwaid Pinggir (Papas), KH Abdul Gani (Poreh), dan K Abdul Bari Poreh.
Selain mengasuh pesantren yang dirintisnya, KH Khotib Bin Abdurrahem oleh masyarakat setempat dipercaya untuk mengurus sebuah masjid yang berada di area Dusun Pocang, Desa Cangkreng. Dulu namanya masih Masjid Raudlatul Jannah, kemudian sekarang bermetamorfosis menjadi masjid At-Taqwa Cangkreng.
KH Khotib memberi nama pesantrennya Tanwirul Hija, yang berarti “Pencerahan Akal”, bukan tanpa maksud. Saat itu, banyak masyarakat setempat yang masih berpegang kuat pada tradisi kepercayaan lama. Di saat yang sama, juga masih trauma akibat kejamnya penjajahan. Melihat situasi demikian, KH Khotib menganggap perlu adanya gerakan “pencerahan akal”. Tekatnya adalah agar lebih masyarakat memahami agama Islam secara benar dan meninggalkan tradisi nenek moyang. Untuk itu, jalan yang ditempuh adalah pendidikan, dengan mendirikan Pesantren Tanwirul Hija itu.
Meski santrinya sangat sedikit, KH Khotib dengan sabar dan tekun membimbing murid-muridnya. Berkat ketekunan dan kesabarannya, lima tahun kemudian jumlah santrinya mulai bertambah banyak, sekitar 30 orang. Tak hanya berasal dari Pulau Madura, beberapa santri juga datang dari Jawa.
Tanwirul Hija semakin berkembang, dan pondok pesantren ini terus mencoba memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Karena itu, selain ngaji kitab dengan sistem tradional, sorogan dan atau bandongan, pesantren ini mulai mengadopsi sistem kelas. Pada 1961, misalnya, didirikanlah pendidikan keagamaan berupa Madrasah Diniyah dan Muallimin. Dan setahun kemudian didirikan juga lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtidaiyah (MI). Orang pertama yang menjadi kepala MI adalah KH Zaidi Hasan yang berasal dari Desa Poreh dan merupakan santri Pesantren Tanwirul Hija sendiri.