Membicarakan persoalan homoseksualitas atau secara lebih luas LGBT dalam koridor agama menjadi sesuatu yang cukup sensitif dilakukan. Untuk itu, ada beberapa karya sastra yang memilih untuk menjadi penyambung lidah dalam pembicaraan soal LGBT dan agama ini.
Di Indonesia sendiri, khususnya di kalangan pesantren, pernah dihebohkan dengan hadirnya novel Mairil yang terbit pada 2005 lalu dan menceritakan perihal homoseksualitas di pesantren serta menuai kontroversi dari berbagai pihak. Meskipun, dewasa ini perbincangan perihal LGBT dan agama sudah semakin terbuka melalui tafsir-tafsir yang semakin beragam, namun ketabuan terhadap topik ini nampaknya masih terus ada.
Pada 2015, sebuah novel tentang LGBT berjudul A Poet of the Invisible World karya Michael Golding diterbitkan oleh Picador. Novel ini memenangkan penghargaan Ferro-Grumley Award dan menjadi finalis dalam Lambda Literary Award for Gay Fiction 2016.
Bersetting pada abad ke-13 di Persia, novel ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang lahir dengan dua pasang telinga bernama Nouri Ahmad Mohammad ibn Mashoud al-Morad. Karena khawatir dengan keselamatan Nouri yang memiliki kondisi fisik berbeda dari orang kebanyakan, yaitu memiliki dua pasang telinga, ibunya, Maleeh al-Morad membawa bayi merah itu ke kota Tan-Arzahn. Namun, belum sempat ia menitipkan anak tersebut pada siapa-siapa, sebuah kecelakaan merenggut nyawa sang ibu sehingga sebatang-kara-lah Nouri bayi.
Saat itulah, Habbib, seorang lelaki yang ikut dalam tradisi sufi di tempat Sheikh Bailiri menemukan Nouri dan merawatnya dengan penuh cinta seperti anaknya sendiri. Sejak saat itu pula, Nouri tinggal di tengah-tengah para sufi dan ikut belajar tradisi sufi di usianya yang belia.
Novel ini seperti sebuah fiksi biografi yang mengisahkan hampir seluruh perjalanan hidup Nouri. Dari kelahirannya sampai kematiannya. Dari tempat yang membesarkannya di sebuah tempat tinggal para sufi di Tan-Arzahn, sampai ke istana, lalu hidup melemparkannya ke sebuah tanah pertanian di Spanyol, hingga ke tempat tinggal para sufi di Afrika, sampai akhirnya ia kembali lagi berpuluh tahun kemudian ke Tan-Arzahn dan mendapati Habbib, ayah angkatnya, ternyata masih hidup dan terus menanti kedatangannya.
Homoseksual memang tabu untuk didiskusikan, namun praktiknya???