Di zaman modern saat ini, umat beragama dihadapkan pada problem kemanusiaan universal yang semakin kompleks. Anarkisme, ekstremisme, kegaduhan berbalut agama adalah problematika konkret yang terjadi di sejumlah negara –khususnya negara agamais.
Polemik tersebut memunculkan pertanyaan besar: Apa fungsi agama bagi bangsa? Apa yang salah: tafsir rigid atas doktrin agama, militansi yang berlebih, media yang memprovokasi atau boleh jadi, negara sengaja melakukan pembiaran? Bukankah semua agama mengajarkan hidup rukun penuh kasih sayang?
Uraian di atas menunjukkan adanya hal yang kontradiktif. Realitas negara dengan mayoritas masyarakat beragama justru melahirkan kejahatan ekstrem dan sikap anarkisme. Padahal setiap agama menekankan aspek humanisme, perdamaian, welas asih, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan nilai luhur lainnya. Premisnya, negara yang memiliki tingkat religiusitas tinggi mempunyai tendensi ideal menciptakan kehidupan yang tentram, damai, dan adil. Sebab, hal tersebut selaras dengan ajaran agama yang memerintahkan itu semua.
Ini yang pada gilirannya memantik dialektika baru. Negara Skandinavia dan negara-negara maju lain yang berkecenderungan sekuler hingga atheis mampu mengembangkan bangsanya menuju level peradaban maju serta mampu memangkas tingkat kriminalitas, ekstremitas menjadi rendah. Negara yang mayoritasnya pemeluk agama tulen, bukannya membuatnya maju dan tentram, tapi malah melahirkan kubangan api dalam sekam.
Hakikat Agama
Sebelum melangkah lebih jauh, penting kiranya kita mendedah istilah agama terlebih dahulu sebagai pijakan pemahaman awal. Agama memiliki arti sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang dirasakan antara jiwa manusia dengan suatu kekuatan Yang Mahadahsyat guna mendorong jiwa manusia untuk mengabdi (menyembah) kepada-Nya.
Di dalamnya, terdapat ritus-ritus dan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannya (Amran Suadi, 2021). Jumhur cendekiawan lintas agama berpendapat, setiap agama mengusung misi esoteris yang sama, yakni menjunjung tinggi kemanusiaan dan menciptakan perdamaian.
Agama akan mengarahkan serta menata kehidupan umat menjadi lebih teratur (tidak kacau) dan saling keterpaduan. Permasalahannya, dalam perkembangan agama tidak sesimpel dan semudah apa yang dibayangkan. Ia selalu bermutasi secara bebas dan meluas. Predisposisi agama yang tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri menjadikan ia ketika membumi sangat plastis (subjektif), di mana selalu direpresentasikan oleh orang yang membawanya. Dalam Islam, misalnya, kita mengenal ada firkah-firkah seperti Mu’tazilah, Ahlussunah wal Jama’ah, Wahabi, Salafi, dan lain sebagainya.
Ketika membaca artikel anda, R20 sepertinya mampu melancarkan proses rekonsiliasi diantara lintas agama.
Tujuan adanya R20 memang seperti itu.
Menurut anda mampukah para alumnus ponpes memperbaiki pemahaman para antitheis maupun agnotis yang saat ini sudah berani mempropagandakan logikanya seolah-olah sudah benar,
Role model paling nyata, yaitu Gus Baha’, di yt sudah bertebaran dhawuh beliau.