Sejak kanak-kanak kita sering mendengar cerita tentang bidadari sebagai setengah dongeng, setengah mitos, dan kita berharap ia nyata ada. Sekali waktu kita akan sulit membedakannya dengan peri.
Dari dongeng kakak-kanak itu, kita yang perempuan akan sering membayangkan diri menjadi bidadari. Sosok perempuan yang tak hanya sempurna kecantikannya, tapi juga paripurna perangainya. Diam-diam, dalam hati, mungkin banyak perempuan yang mendaku: akulah bidadari itu.
Dari dongeng kakak-kanak itu, kita yang laki-laki akan sering mengimpikan kelak suatu hari akan bertemu, kalau bisa memiliki dan dicintai, sang bidadari itu. Diam-diam, dalam hati, mungkin banyak laki-laki yang terobsesi: aku layak mendapatkan bidadari itu —bagaimana pun caranya.
Tapi hingga kita dewasa, hingga giliran kita mendongeng kepada cucu-cucu, kita tak pernah menjadi bidadari itu, kita tak pernah bertemu dengan bidadari itu. Ia tak pernah menjadi sosok nyata dalam kehidupan kita. Maka, di sini bidadari adalah sebuah alegori —ia hanya ada di surga sana.
Begitulah cara Tuhan berkomunikasi dengan makhluknya, termasuk manusia: melalui alegori. Manusia, makhluk yang dikenal tamak dan serba pamrih ini, memang harus diberi seabrek iming-iming yang wah, yang memukau. Maka dijanjikanlah surga. Ketika istilah surga masih sulit dibayangkan, maka ditambahkan keterangan nun di sana ada bidadari. Tidak hanya seorang bidadari untuk seorang, tapi banyak —72 bidadari!
Memang banyak ayat dalam Al-Quran yang membicarakan tentang apa yang kita maksud sebagai bidadari, yang disebut hur (jamak dari haura). Dalam dialek Arab, al hur bersumber dari kata al baizu atau al bayaz yang berarti putih. Dari sana kemudian muncul istilah al hur atau al haura yang berarti perempuan berkulit putih-bersih-bening, sosok perempuan yang diidealisasi secara seksis. (Sebagai perbandingan, kita mengenal istilah bidadari mungkin bersumber dari kepercayaan Hindu-Budha, Vidyādhara dan Vidyādhari, [bidadara dan bidadari], sosok laki-laki dan perempuan pembawa kebajikan).