“Apabila seorang manusia meninggal dunia, putuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan baginya.”
Apa yang dimaksud dengan “amalan yang tak terputus setelah meninggal dunia” yang Rasulullah sebut dalam hadis tersebut? Penafsiran tradisional mengenai ketakterputusan suatu amal berarti bahwa, pahala seseorang yang telah melakukan hal-hal di atas sebelum ia meninggal dunia, akan terus berlanjut. Ibarat seorang pengusaha yang telah membuat suatu sistem usaha yang canggih, ketika sistem atau mekanisme usaha tersebut sudah selesai, tak perlu lagi ada usaha lebih lanjut di pihak orang itu; ia hanya memantau dan memanen hasil yang berkembang terus menerus, yang dihasilkan oleh sistem yang terus berjalan itu.
Penafsiran semacam ini tentu saja sah secara teologis. Namun, penafsiran ini hanya mampu meyakinkan satu atau dua pihak dari umat muslim. Di masa ketika skeptisisme menjadi tongkat yang digunakan manusia untuk berjalan, tafsiran ini tak cukup membendung gelombang skeptisisme buta seperti itu. Harus ada penafsiran alternatif yang bisa diterima oleh akal. Dengan kata lain, penafsiran yang lebih rasional dan logis.
Jika yang dirujuk dengan frase “tidak terputus setelah meninggal dunia” adalah datangnya pahala setelah meninggal dunia, seorang skeptis akan menyerang balik dengan argumen “hal-hal seperti itu tidak dapat diklarifikasi”. Argumen seperti ini ada benarnya. Sebab, jika standar kebenaran yang mereka minta adalah kemampuan suatu premis untuk diklarifikasi secara empiris, pahala seseorang, apalagi seseorang yang telah meninggal dunia, jauh dari sesuatu yang bisa dibuktikan.
Tentu saja, ini adalah premis yang diterima secara teologis karena aksioma ontologis Islam ialah, bahwa mereka menerima kenyataan adanya dua alam; material dan immaterial. Meskipun sesuatu tidak bisa diklarifikasi secara empiris-materiil, jika ia tidak bertentangan dengan kitab suci dan perkataan suci Rasulullah, ia sah.
Itulah sebabnya kita perlu memberikan penafsiran yang mampu menandingi argumen para pejuang skeptisisme. Pertama, terbukti bahwa di dunia materiil ini, ada sesuatu yang imateriil. Sebut saja rasa sakit; seorang skeptis akan merengek kesakitan jika wajahnya dipukul dengan keras. Jika kita bertanya kepadanya di manakah letak rasa sakit, ia tidak bisa menjawab dengan pasti. Jika ia masih mampu menyangkal dengan merujuk pada psikologi behavioristik, maka kita bisa menyajikan argumen yang lebih konkret; dasar dari ilmu pengetahuan ialah konsep-konsep matematika, di sana ada fisika kuantum, aritmatika, yang telah terbukti kebenarannya.