Sebagai manusia yang penuh keterbatasan dan segala kelemahan, eksistensi sang Dzat Maha Agung sebagai penggerak atas apa yang dikehendaki bagitu penting. Terlebih menilik seorang yang memiliki pegangan dalam hidup (agama), merupakan media dalam mencari, mendekat dan mencapai kekuatan tertinggi yang sifatnya immateri (abstrak). Demikian oleh makhluk acap kali dikenal Tuhan, yang Maha Ada di antara yang ada, bersifat ada sebagai pemula yang ada, dan kekal dalam setiap keadaan.
Oleh karenanya, untuk menuju-Nya perlu adanya jalan yang harus ditempuh dalam mencapai kesempurnaan sebagai wujud dari percik-percik nur-Nya. Jalan yang dimaksud di sini adalah bagaimana manusia mampu kembali kepada Tuhan sebagai pemegang segala kendali, hak, terlebih pencipta alam semesta.
Jika melihat realitas yang ada, keragaman agama di penjuru dunia merupakan keniscayaan. Bahkan pemeluk tiap agama mengklaim bahwa agama yang dianutnya dan jalan yang ditempuhny adalah yang paling benar. Dari sini, muncul beberapa pertanyaan, manakah jalan yang paling benar menuju-Nya? Akankah tiap agama memiliki Tuhan masing-masing? Layakkah kita memvonis salah terhadap mereka yang dianggap jalannya tidak sama?
Sebelum melangkah lebih jauh, penting kiranya mengetahui terlebih dahulu konsep pluralisme agama. Seorang pemikir Islam dari India Bernama Abul Kalam Azad, menyatakan, “al-Din Wahid wa al-Syari’at Mukhtalifat: no difference in Din difference only in Sharia: agama tetap satu dan syariat berbeda-beda.
Demikianlah dalam kosa kata Arab dikenal dengan “Wahdat al-Adyan”, yang secara makna semua agama tujuan utamanya adalah mengabdi kepada Tuhan yang sama. Hal yang menjadi pembeda hanya terletak pada kulitnya. Pada hakikatnya pula, agama bersumber dari Yang Satu, yakni apa yang disebut Tuhan, atau dalam redaksi lain Allah/Gusti/Pengeran/Yang Kuasa/Sang Hyang Widhi.
Dari adanya konsep yang penting untuk dipahami layaknya di atas, nantinya akan mendidik manusia beragama untuk tidak saling menghakimi agama lain, karena demikian tidak dibenarkan dalam agama, bahkan yang dianjurkan adalah manusia konsisten dan patuh terhadap agamanya masing-masing. Hal ini mendidik seorang beragama pada sikap keterbukaan, humanis, dan pluralis di tengah masyarakat majemuk.