Kisah ini antara pernah terjadi dan tidak sama sekali. Ia seorang lelaki muda yang menderita batin dan merasakan larane wong kapegot tresna, perihnya kasih tak sampai.
“Aku telah kalah,” katanya pada temannya, Gemblung Pinulung, saat mereka berdua berjalan menuju sawah. “Ratmina mengejekku laki-laki miskin dan rendah. Baginya aku tidak layak. Apakah di matanya aku sudah begitu buruk? Dan sekarang mak-ku mengusirku dari rumah.”
Ia dihinakan Ratmina untuk cintanya, meski ia tahu bahwa ibunya sudah berendah hati untuk melamarnya.
“Baridin,” kata ibunya, Mak Wangsih, dengan berurai air mata.
“Ratmina bukan golongan kita. Ia bukan jodohmu. Sudah, cari saja wanita lain. Lamaranmu ditolak, dan, aku dianggap pengemis, Ratmina tak peduli sama sekali.”
“Ngomong sekali lagi ke Ratmina, mak. Anakmu ini tak bisa hidup tanpanya. Aku betul-betul mencintainya. Aku selalu terbayang-bayang wajahnya.”
“Cukup,” kata perempuan tua bertubuh kurus dan pucat itu. “Jangan kau teruskan. Aku tahu. Kita miskin, hanya babu bagi orang kaya, hidup untuk dihina-hina.”
“Kita sama-sama manusia, mengapa tak bisa?”
“Tak usah berkhayal-khayal lagi,” perempuan tua itu bangkit, kakinya telanjang, mengambil teko dan menuangkan isinya ke gelas. “Kau mau kasih makan apa jika ia betul jadi istrimu? Air sumur ini?”
“Apa saja yang bisa di makan. Mie dan nasi, pisang dan ikan.”
“Baridin, seperti mak katakan, kita orang miskin, selamanya seperti itu, tak punya apa-apa.”
“Tidak. Aku hanya ingin Ratmina. Dan pernikahan itu akan segera dilangsungkan,” katanya. “Pesta itu akan meriah sekali.”
“Bocah sinting!” kata Mak Wangsih. “Jadi kau tak mau mendengarkan ucapan mak-mu ini?”
“Ya,” jawab Baridin. “Bagen mlarat Baridin lanang. Demen wadon iku wenang. Lamon bli kelakon sun bagen lara badane. Lamun kelakon isun si bagen edane.”