Aroma siur air laut meriap menusuk hidungku yang sedari tadi melamun di dermaga menunggu perahu-perahu kecil membawa ikan. Aku juga akan menunggu matahari tenggelam tanpa alasan, tanpa waktu yang ditentukan. Jika aku lelah, aku akan kembali, namun jika masih betah, aku akan tetap di sini.
Paling nyaman adalah merasakan desiran angin dan memandang laut yang biru, merasakan aroma amis, asin ikan-ikan para nelayan. Sudah beberapa tahun berada di wilayah Pantura, membuat aku akrab dengan aroma-aroma seperti ini.
Aku melihat puluhan perahu-perahu kecil tertambat di pantai. Senja kemerahan menggantung di langit sebelah barat. Para nelayan akan pulang ke rumahnya masing-masing. Sementara ombak kecil saling berkejaran menghantam bebatuan dan perahu-perahu nelayan yang terombang-ambing.
Di tempat inilah kisah dimulai. Ya, tempat ini adalah tempat bersejarah. Kata masyarakat sekitar, di tempat inilah Mbah Banjar terdampar akibat terempas badai. Perahunya hancur akibat badai, tubuhnya terempas ombak besar, kemudian terdampar di Desa Jelaq.
Ternyata badai itu membawa berkah yang luar biasa. Kedatangan Mbah Banjar melahirkan tatanan kedamaian dan kebahagiaan. Beliau menyiarkan agama Islam di daerah Pantura. Mbah Banjar ditolong oleh tokoh masyarakat di desa itu yang bernama Mbah Mayang Madu, dan diberi tempat tinggal olehnya.
Lama kelamaan Mbah Mayang Madu tertarik dengan ajaran yang dianut oleh Mbah Banjar. Lambat laun, akhirnya penguasa Desa Jelaq itu memilih untuk menjadi muslim dan menjadi hamba Allah yang taat, dan menjadi umat Rasullah yang selalu mengikuti jalannya.
Konon, Mbah Mayang Madu adalah seorang yang dermawan. Ia memberikan seluruh hartanya untuk perjuangan menyebarkan agama Islam. Ia membangun sebuah surau yang tak jauh dari rumahnya dan mencukupi segala kebutuhan Mbah Banjar dalam menyiarkan agama Islam dan membantu perjuangan bersama Mbah Banjar.
Setelah beberapa tahun berjuang menegakkan ajaran Allah, penduduk mulai masuk Islam. Meskipun ada saja penduduk yang tak suka dengan ajaran itu. Mereka berdua merasa kewalahan. Mereka meminta bantuan tenaga pengajar kepada Sunan Ampel untuk membantu perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu di tanah Pantura. Maka diutuslah putranya yang bernama Raden Qasim yang dikenal sebagai Sunan Drajat.