CELURIT EMAS
Roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu
Mengadu kehadapan celurit yang ditempa dari
Jiwa. Celurit itu hanya mampu berdiam, tapi
Ketika tercium bau tangan
Yang
Pura-pura mati dalam terang
Dan
Bergila dalam gelap
Ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang
Meski ia menyesal namun gelombang masih
Ditolak singgah ke dalam dirinya.
Nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena
Celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari
Akan mengasahnya pada halaman-halaman
Kitab suci.
Celurit itu punya siapa?
Amin!
(Dari buku kumpulan puisi D. Zawawi Imron, Kumpulan Puisi Celurit Emas, 2012, Said Abdullah Institute, Sumenep)
Secara sintaksis celurit adalah senjata tajam (sajam) orang Madura dengan berbagai kebutuhan. Umumya, celurit (are’) digunakan untuk menyabit rumput (sabit), meribas daun-daunan, atau memotong dahan dan ranting. Tersebab oleh alat yang bersifat tajam, maka kemudian celurit ini digunakan sebagai senjata, dan bahkan sebagai simbol kejantanan oleh sebagian masyarakat Madura.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh pencipta puisi ini, D Zawawi Imron yang dijuluki Si Celurit Emas, di dalam sebuah “anjangsana“; Proses Kreatif D Zawawi Imron disampaikan pada pembacaan sajak-sajak Celurit Emas, pada tanggal 22 November 1984, di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di dalam anjangsana ini Zawawi mengatakan:
“Tetapi Celurit Emas bukan lambang kejantanan. Celurit senjata tradisional Madura itu sudah saya hancurkan, saya lebur dalam kawah religiusitas dan spiritual saya, lalu saya campurkan dengan tangis orang-orang terhina, saya luluhkan dengan jiwa dan darah para pahlawan dan berjuta kasus kemanusiaan lainnya sehingga menjelmalah dari celurit (itu) kebijaksanaan.”