Bagi saya, isu kerusakan lingkungan bukan hanya menunjukkan bahwa bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Ada bermacam aspek yang sedang diinformasikan oleh fenomena tersebut.
Tentu yang pertama adalah bahwa saudara sejenis kita—iya, manusia—sedang tidak baik-baik saja (tangannya), tidak ramah lingkungan, perlu diservis kira-kira. Kedua, usia alam sudah mendekati tanggal wafatnya. Ketiga, jiwa manusia yang semakin membangkang pada perintah Allah dan larangan-Nya.
Tiga informasi tambahan ini saya dapat dari sumber otoritatif dalam Islam. Pertama, dari surah Ar-Rum ayat 41 ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيدي الناس (kerusakan di muka bumi ini terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia).
Kedua, dari surah Al-Qasas ayat 59 وما كنا مهلكي القرى إلا وأهلها ظالمون (dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman).
Ketiga, dari hadis riwayat Imam Bukhari terkait sikap apatisnya manusia terhadap halal dan haram sebagai tanda kiamat (ليأتين على الناس زمان، لا يبالي المرء بما أخذ المال، أمن حلال أم من حرام). Inilah maksud dari kata ‘bagi saya’ di awal tulisan ini.
Dua informasi pertama juga disinggung oleh surah Al-Baqarah ayat 11:
وَإِذا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قالُوا إِنَّما نَحْنُ مُصْلِحُونَ (١١)
Artinya: dan apabila dikatakan kepada mereka ‘janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi’ maka mereka menjawab tentu kami adalah orang-orang yang berbuat kemaslahatan.
Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir Ibnu Katsir, mengutip komentar Abul ‘Aliyah terkait ayat tersebut. Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah janganlah kalian berbuat maksiat di Bumi, dan kerusakan yang mereka lakukan di Bumi adalah maksiat itu sendiri.
Atas dasar itu, orang yang bermaksiat kepada Allah atau orang memerintahkan perbuatan maksiat telah melakukan kerusakan di Bumi. Selain itu, adanya keamanan Bumi dan langit adalah karena ketaatan. Demikian komentar Abul ‘Aliyah terkait ayat tersebut.
Hal-hal semisal demikian adalah lauk kami (kaum santri) dalam menyantap nasi lingkungan. Sebagai kaum sarungan, kami peduli lingkungan bukan hanya di halaman, tapi juga di musala, kelas, kamar, dan majelis-majelis lainnya melalui nasihat untuk menguatkan kesadaran akan lingkungan.