Perkembangan teknologi yang semakin canggih memudahkan manusia untuk berkomunaksi dan mengakses informasi tanpa harus bertemu secara langsung. Sebab, alat komunikasi seperti gawai dapat mengirim pesan secara singkat. Ditambah lagi kehadiran beragam media sosial lain yang menfaatkan jaringan Internet yang menyuguhkan informasi secara luas, mudah, dan bebas. Tanpa dimungkiri, hal tersebut melahirkan realita baru, yaitu seseorang lebih sering menatap layar gawai dan mengabaikan lawan bicaranya yang biasa dikenal dengan phubbing.
Phubbing merupakan akronim dari phone dan snubbing, yang menggambarkan tindakan menghina seseorang dalam lingkungan sosial dengan lebih memperhatikan ponsel, bukan berbicara dengan orang tersebut secara langsung (Haigh, 2012). Mungkin bagi sebagian orang istilah ini masih terdengar asing. Namun, perilaku demikian kerap kita temui bahkan kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika dulu pepetah mengatakan “jauh di mata dekat di hati”, maka hal yang terjadi pada perilaku phubbing justru sebaliknya. Ironisnya, phubbing banyak dilakukan dalam acara kebersamaan. Momen yang seharusnya untuk menyambung silaturahmi, tapi malah menjadi ajang saling menunduk dan senam jari.
Phubbing jika dilakukan sekali dua kali mungkin masih bisa dimaklumi oleh lawan bicara atau si doi. Tapi kalau terus-menerus dilakukan dan menjadi kebiasaan, bisa merusak kualitas hubungan. Efek jangka panjangnya komunikasi langsung bakal dirasa tidak perlu lagi. Dan kemungkinan terburuknya adalah orang akan saling makin menjauh dan tidak lagi saling berinteraksi.
Dalam artikel yang berjudul The Effects of Phubbing on Social Interaction ditulis Karen M Douglas, ditegaskan bahwa phubbing mengancam empat kebutuhan dasar manusia, yaitu rasa memiliki, harga diri, keberadaan, dan kendali yang bermakna. Dengan melakukan phubbing membuat orang lain merasa dikucilkan.
Hal paling fundamental untuk menekan atau menghindari phubbing adalah dengan memupuk kesadaran diri. Sadar untuk proporsional dalam menggunakan gawai, sadar untuk bersosialisasi, berempati, dan sadar bahwa diri kita adalah manusia, bukan budak teknologi.