Internet sudah laiknya kebutuhan primer masyarakat modern. Sebaran informasi bisa dengan mudah didapatkan meski memiliki risiko adanya ketidakkredibilitasan literasi. Alhasil, sumber konflik sering dipicu dari kegagapan menerima informasi dari media digital.
Karena itu muncul adanya persepsi negatif media sebagai sumber hoaks, limitasi kepakaran, hingga manipulasi data dan informasi untuk motif tertentu. Masyarakat yang bukan dari kalangan akademik (gagap teknologi) dipaksa mengonsumsi pemberitaan yang berpotensi memunculkan konflik secara masif.
Adalah menjadi pekerjaan rumah media untuk mengembalikan citra jurnalistik yang punya kapabilitas informasi yang layak untuk dikonsumsi masyarakat. Mengesampingkan fanatisme dan kebencian terhadap kelompok atau individu yang berseberangan. Jurnalistik harus kembali menerapkan prinsip cover both side sebagai jalan mengatasi konflik dengan sudut pandang yang obyektif.
Media harus punya rasa tanggung jawab mencerdaskan masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai jurnalistik yang memadai. Tidak asal kutip tanpa referensi dan penelurusan sumber berita yang jelas. Bahkan, opini pun harus memuat kaidah penulisan yang baik tanpa tendensi merendahkan obyek atau pihak tertentu tanpa disertai sumber informasi yang valid.
Apresisasi harus ditujukan kepada editor media yang bertanggung jawab pada kualitas karya sebelum menjadi informasi publik. Editor tidak hanya urusan pembenaran diksi kata sesuai PUEBI, namun ada nilai yang dipegang media agar tetap berjalan sesuai visi misi media. Selain itu, editor juga harus paham etika jurnalistik yang berpotensi hoaks dan menciptakan konflik yang lebih luas.
Dunia internet telah merampas kemampuan sebagian besar masyarakat untuk berpikir secara konsentratif, reflektif, dan kontemplatif. Terlebih ketika melihat karakter warganet yang membaca judul berita tanpa tahu kontennya, serta mudah membagikan berita tanpa proses verifikasi terlebih dahulu. Banjir informasi membuat orang menjadi bingung dan justru malas berpikir. Akibatnya, informasi yang ada cenderung tak berguna, membingungkan, dan merusak tata hidup bersama.
Dalam peran agama, internet menjadi ajang “perang” mazhab atau ideologi. Gerakan santri digital gencar dikampanyekan ke pondok-pondok pesantren ketika banyak akidah dan amalan yang disesatkan (dibidahkan). Ulama dan kiai menjadi korban kebrutalan Islam modern yang dengan mudah menuduh liberal, kafir, dan sumpah serapah lainnya.