Feminisme yang pada mulanya merupakan sebuah gerakan pembebasan. Lambat laun berkembang menjadi teori yang dipenuhi dengan konsep-konsep yang kaya dan penuh dengan dinamika kritik-mengkritik.
Hal tersebut diwakili oleh feminisme epistemologi yang merupakan salah satu cabang dari feminisme yang bergerak pada ranah teori, namun tidak dapat diartikan hanya sebagai imajinasi-imajinasi feminis yang memenuhi buku dan berisi konsep-konsep yang njilmet. Ia juga dapat digunakan sebagai gerakan aktivisme.
Dalam paradigma sosiologi pengetahuan, terdapat premis yang cukup berperan penting, yakni “ilmu merupakan hasil konstruksi sosial” (Barber, 1962). Hal ini menandakan bahwa ilmu tidak lagi otonom, namun sarat dengan kepentingan eksternal. Dalam paradigma yang lain, ilmu tidak hanya dianggap bebas nilai dan objektif, namun juga netral gender. Artinya, di sini ilmu bersih dari kepentingan di belakangnnya, universal, dan setara.
Kecurigaan para feminis muncul karena praktik-praktik ilmiah didominasi oleh laki-laki. Menurut Easlea, fakta bahwa praktik ilmiah yang didominasi laki-laki menimbulkan persoalan yang cukup serius perihal representasi dan absennya perempuan dalam praktik-praktik ilmiah (Easlea, 1986). Kecurigaan ini berlanjut pada persoalan adanya diskiriminasi terhadap perempuan dalam praktik dan institusi ilmu pengetahuan.
Selain pada ranah praktik, feminis juga mencurigai kecenderungan serupa pada struktur ilmu pengetahuan. Premis dasar yang diangkat oleh para feminis ialah “tujuan-tujuan, prinsip, dan prosedur keilmuan tidak diciptakan untuk perempuan (Keller, 1987).
Intelektual feminsime di sini melakukan otopsi secara mendalam terhadap struktur ilmu pengetahuan modern yang kini diagung-agungkan. Selain melakukan otopsi terhadap ilmu pengetahuan modern mereka juga melangkah lebih jauh untuk merumuskan metodologi feminis.
Bagi intelektual feminis, opisi biner yang sangat dihormanti dalam kontruksi ilmu pengetahuan modern dipenuhi dengan problem fundamental. Pasalnya, dengan corak seperti ini akan menimbulkan keberpihakan salah satu yang berimplikasi pada meninggikan salah satu dan merendahkan salah satu lainnya.
Secara lebih jauh, Genevieve Lloyd mengatakan bahwa maskulinitas ilmu berakar kuat pada mazhab Rasionalisme dalam filsafat. Ia menuding bahwa rasio selalu digenderkan laki-laki. Implikasi yang cukup serius pun tidak dapat dihindarkan mengingat Rasionalisme menjadi landasan terhadap ilmu-ilmu baru seperti ilmu alam dan ilmu sosial. Tidak hanya itu, namun juga berimplikasi dengan apa yang disebut dengan “kebenaran”. Sangat miris ketika ilmu yang begitu dihormati akan tetapi menemui ketidaksetaraan di dalamnya.