Dewasa ini, tren dakwah dan “gerakan hijrah” di Tanar Air banyak melibatkan publik figur atau selebritas. Dakwah publik figur atau para pesohor itu biasanya kita temui di acara televisi dan menghiasa beragam progam dalam layar kaca. Di sana pula, kini, dengan mudah dapat kita temui kajian-kajian keagamaan.
Maka, belakangan, banyak sosok artis kia temukan berdakwah dalam gebyar televisi atau keriuhan media sosia. Tentu, kita patut mendukung kebaikan “hijrah” yang coba dan telah mereka lakukan. Namun, adakalanya kita perlu meneliti apakah hijrah dalam pandangan mereka untuk memperbaiki kualitas iman atau malah mempersalahkan hal peribadahan orang lain?
Terlepas dari segala pro dan kontra yang ada, saya sebagai seorang alumni pesantren selalu meyakini bahwasannya dalam hal keilmuan, wabilkhusus syariat Islam, harus mempunya sumber referensi yang kembali dijelaskan oleh guru yang memang sahih.
Para artis yang mengenal “hijrahisasi” sepertinya kurang menyadari akan pentingnya sebuah khos keilmuan. Tapi, seperti kita tahu, para artis atau pesohor yang terlihat biasa-biasa saja dalam kajian-kajian keislaman itu akhirnya digelari sebagai uztaz/ustazah.
Padahal dalam tradisi pondok pesantren salaf, untuk mendapatkan gelar uztaz bukanlah perkara yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu lama untuk menjadi seorang ustaz/ustazah. Dan tidak hanya diperoleh lewat kajian agama dasar, baca buku terjemahan, baca Al-Qur’an terjemahan, dan baru mengaji kemarin sore. Sebelum menjadi sosok guru, para santri haruslah mengaji dengan kitab khas pesantren. seperti kitab-kitab bidang akidah, tasawuf, tajiwid, nahu-saraf, hingga balaghah dan mantiq.
Pada dasarnya, ilmu adalah sesuatu pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt kepada umat-Nya. Pengetahuan inilah, yang dalam perspektif penulis, mengantarkan manusia pada hal keimanan dan akan berbuah beragam amal dalam kehidupan.
Walaupun demikian, mendapatkan ilmu sebagai media peribadatan dan penguatan akan keimanan harus dialalui dengan pengembaraan khasanah keilmuan yang mendalam disertai jangkauan waktu yang relatif lama. Tak hanya itu, seolah thulab haruslah mau dan mampu untuk ndereke setiap perintah dari masyayikh atau yang biasa dikenal dengan abah, bapak, dan kiai.