Kata khilafah bukan kali ini mulai digaung-gaungkan hingga melahirkan polemik baru di bumi pertiwi. Khilafah sendiri adalah sebuah paham di mana meletakkan syariat Islam dalam sebuah negara sebagai dasar hukum tertinggi untuk dipatuhi.
Dalam tulisan Zidni Nafi’, dengan mengutip pendapat Prof. Azyumardi Azra, disebutkan bahwa gerakan khilafah itu lebih didasarkan pada romantisme historis, tidak didasarkan pada realitas historis yang ada. Kekuasaan dinasti-dinasti pada masa itu sangat despotik dan absolut. Karena itu tidak realistis dalam konteks sekarang menuntut untuk menegakkan kembali khilafah. (Iqra.id, 2020)
Namun, ada satu hal yang mesti kita pahami bahwasannya gerakan khilafah ini tak serta merta cocok untuk diterapkan dalam setiap negara yang ada. Banyak negara yang dibangun dengan kultur, budaya, agama, dan kondisi sosial yang beragam. Seperti Indonesia yang menghendaki sistem demokrasi berlandaskan ideologi Pancasila untuk merangkul persatuan dan kesatuan dalam negara.
Pancasila sebagai dasar ideologi negara juga tak muncul secara instan atau tiba-tiba. Melewati proses istikharah yang lama yang dilakukan oleh ulama’sepuh, barulah Pancasila disepakati sebagai dasar negara secara kaffah.
Melihat kondisi bangsa kita yang seakan kian memprihatinkan, di mana banyak politik dengan narasi agama digaungkan, gerakan terorisme, ekstremisme, radikalisme yang mengintai kedamaian bangsa kita, seakan-akan memang benar adanya bangsa kita sebagai incaran untuk dipecah-belah kehidupannnya.
Beragam pemahaman yang salah dalam penafsiran, seringkali menjadikan seseorang malah berperilaku yang seharusnya tidak dilakukan. Seperti memahami makna berjihad hanya dengan sebatas mengangkat senjata. Aksi pengeboman gereja dan kadang pula melakukan aksi bunuh diri dimaknai jihad agar dipermudah jalan ke surga.
Maka, perlu memahami lagi cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa terdahulu, agar semangat dalam keberagaman dengan mengedepankan konsep toleransi dan islah haruslah ditempuh guna mewujudkan negara yang baldatun toyyibatun warobbulghofur.
Uztad Musyafa LC menjelaskan, istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, tentu bukan istilah yang asing di telinga kita. Istilah itu diambil dari firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebut Negeri Saba’ yang pada waktu itu indah dan subur alamnya, dengan penduduk yang selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima.