Mukidi mengayuh pedal dengan penuh kasih sayang. Tak ingin dia membuat putra kiainya yang sedang membonceng di belakang itu merasa tak nyaman. Jalanan becek ditumbuhi bebatuan di sana-sini ia lalui dengan hati-hati. Walaupun begitu, lumpur yang mengendap di tengah jalan membuat roda sepeda pancalnya berkali-kali terpeleset. Bahkan beberapa kali jalan yang dilewatinya berubah menjadi sungai karena semalam turun hujan deras tak terkira.
Gus Jaka pun harus sesekali turun dari sepeda, berjalan kaki untuk menghindari jalan yang licin. Lain waktu, ia tetap nangkring di sepeda dengan didorong oleh Mukidi. Jarak yang harus ditempuh untuk sampai di Pesantren Gedangan memang cukup jauh. Mereka telah berangkat sehabis subuh tadi. Perbukitan dan lembah-lembah dengan jalan becek serta curam mereka lewati dengan penuh perjuangan.
“Beginilah perjalanan orang cari ilmu, Gus,” ucap Mukidi yang tak ditanggapi oleh Gus Jaka.
Bau keringat Mukidi yang sedari subuh terus mengayuh pedal telah mulai menguar. Peluh-peluh telah membasahi bajunya. Sesekali bau kecut menyerbu hidung Gus Jaka. Putra Mbah Syairoji itu berusaha tetap sabar.
Inilah rintangan orang mencari ilmu. Sekecut dan sesulit apa pun sebuah perjalanan harus tetap dilalui untuk mencapai sebuah tujuan. Perbekalan yang berada di keranjang sepeda beberapa kali telah mereka buka. Yu Mes membuatkan jajanan nogosari sebagai bekal perjalanannya sesore kemarin.
“Kita istirahat, Gus. Aku takut otot kakiku akan putus jika seharian mengayuh pedal tanpa berhenti,” ucap Mukidi. Wajah dan tubuhnya telah basah oleh peluh.
Mereka berbelok arah ke sebuah sungai. Rasa gerah yang telah membakar tubuhnya hampir sesiang ini butuh untuk segera diluruhkan dalam air sungai.
“Kita rehat sejenak, Gus,” Mukidi melanjutkan percakapannya.
“Capek Lek?” tanya Gus Jaka. Ia sandarkan tubuhnya di pohon jambu tepi kali.
Mukidi menyeringai.
“Iya, capek sekali Gus.” Mukidi menenggak air putih yang dibawanya.