Kini, hidupku seperti telah luruh, bagai pohon tak berdaun, meranggas karena musim kemarau. Ibu telah tiada. Itu artinya tidak ada orang yang memberikan kekuatan batin bagiku.
Meskipun, dia bukan ibu kandungku, tapi aku telah memperlakukannya seperti ibu kandung sendiri. Sementara, ibuku sendiri telah meninggal saat melahirkanku.
Doa-doa mereka mampu memberikan kekuatan yang luar biasa bagi diriku. Doa-doa mereka menyelamatkanku dari segala marabahaya. Doa-doa mereka selalu mengiringi perjalanan sampai puncak karierku.
Menurut cerita orang-orang, ibuku telah berpuasa sembilan bulan untuk diriku selama aku di dalam kandungan. Tapi, ibu angkatku yang bercerita demikian. Aku baru tahu jika ibu melakukan pengorbanan semacam itu untukku. Setelah mengetahui itu, ingin rasanya aku membangunkan ibu dipersemayaman terakhirnya, tetapi semua itu tidak mungkin.
Maka dari itu, tirakat ibu adalah hadiah untukku dan hadiah kemerdekaan ini dari ayahku dan segenap, pahlawan yang berjuang melawan penjajah adalah kebahagiaan yang terindah dalam hidupku.
Menurut cerita dari ibu angkatku, ibu menginginkan anaknya kelak menjadi pembesar di negeri ini. Dan ayahku ingin setelah aku lahir tidak ada penjajahan lagi di negeri ini. Dan akhirnya hal itu terwujud.
Aku merasa bersyukur, setidaknya aku tidak mengecewakan ibu dan ayah. Maka dari itu, apa pun yang aku lakukan demi orang lain, pasti mereka merasa bangga dan bahagia.
***
Menjelang waktu subuh, Sari berteriak meminta pertolongan. Dari teriakannya, terasa ada sesuatu yang genting.
“Tolong aku, Yu!” teriaknya. Dia berteriak berkali-kali. Dia mengetahui ada beberapa orang di surau di depan rumahnya. Orang-orang yang berada di surau tunggang langgang untuk melihat kondisi Sari.
Di sana, Sari sudah dalam posisi kepayahan di amben, sambil memegang perutnya yang menggembung. Dia sudah tidak berdaya karena bayi yang ada di dalam perutnya ingin menerobos keluar, melihat dunia, tepat di usia kandungan sembilan bulan lebih satu hari.