Hadis merupakan sabda Nabi Muhammad yang kemudian diriwayatkan oleh para sahabatnya. Hadis-hadis Nabi kemudian menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Di kalangan muslim, hadis sangat dijaga keotentikannya. Sebab pasca wafatnya Nabi Saw, banyak sekali bertebaran hadis lemah (dhaif) dan palsu. Banyak orang menggunakan dalil hadis untuk meraih keuntungan pribadi atau kepentingan politik. Mereka tidak menghiraukan peringatan Nabi Saw bahwa siapapun yang berbicara dengan mengatasnamakan Nabi Saw, padahal Bani belum pernah mengucapkannya, perkataan tersebut ancamanya adalah neraka.
Untuk terus menjaga otentisitas hadis, sekitar 200 tahun setelah wafatnya Nabi Saw muncullah ulama-ulama ahli hadis. Di antaranya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, At Tirmizi, Ahmad Ibn Hambal, Ibnu Majah, dan masih banyak lagi.
Para ulama hadis tersebut berusaha mengumpulkan hadis-hadis Nabi dan mentakhrijnya untuk memilih dan memilah mana hadis sahih, hasan, dhaif atau lemah, dan palsu. Setelah mentakhrij hadis, mereka kemudian melakukan kritik sanad dan matan sehingga betul-betul didapatkan hadis yang otentik.
Hadis-hadis yang mencapai derajat sahih dan hasan kemudian mereka tuliskan dalam banyak kitab, seperti yang sampai ke tangan kita hari ini, ada Sahih Bukhari, Sahih Musim, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, dan Musnad At-Tirmizi. Perkembangan periwayatan hadis terus berkembang setelah itu dan melahirkan banyak ahli hadis dari berbagai penjuru negeri.
Perkembangan kritik sanad dan matan hadis mengalami peningkatan, bahkan sampai ke dataran Eropa. Pada awal abad ke-18, ketika bangsa Eropa sedang mengalami revolusi industri bersamaan dengan menjamurnya universitas menjadi angin segar bagi kazanah intlektual di sana. Akhirnya banyak para sarjana Barat yang memasuki ruang-ruang kajian Timur Tengah, termasuk di dalamnya kajian tentang Al-Qur’an dan Hadis.
Para sarjana Barat ini sering disebut sebagai Orientalis atau orang yang melakukan kajian tentang dunia Timur. Para pengkaji awal teks-teks keislaman dalam melakukan kajian lebih ke nuansa tendensius. Mereka membawa misi imprialisme dan mencoba untuk mencari kelemahan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh para ulama hadis terdahulu, termasuk Sahih Bukhari tak lepas dari kritik sarjana Barat.