Di depan rumahnya, Markotop merentangkan spanduk yang cukup besar dengan tulisan yang juga gede-gede: H. Markotop. Seakan ia ingin bilang pada semua orang, bahwa dirinya kini telah mendapat gelar haji. Dengan waktu penantian yang sangat lama, dan menghabiskan uang yang tak sedikit jumlahnya, akhirnya Markotop memang sampai juga ke tanah suci, dan dengan sendirinya pula ia mendapat gelar haji.
Namun, orang-orang kampung sepertinya tak mengindahkan perihal itu. Di kampungnya, gelar haji seolah tak punya arti. Markotop yang jauh-jauh pergi ke tanah suci, dan pulang dengan bangga hati, ternyata tak dapat sambutan apa pun dari orang-orang kampung. Dengan hati kecewa ia harus menelan ludah sendiri. Sebab, tak ada perayaan apa pun. Tak ada suara petasan atau irama rebana yang menyambut kepulangannya. Semua terasa lengang dan menyakitkan hati Markotop.
Markotop yang sudah naik haji itu kesal bukan alang kepalang. Ia tak terima, bila segala usaha dan perjuangannya untuk bisa pergi ke tanah suci, tak dipandang sekilas pun. Muka Markotop merah padam, urat-urat sarafnya mulai menegang. Namun, lagi-lagi ia tak punya sesuatu untuk pelampiasan. Ia tak bisa memarahi warga kampung, mengingat orang-orang kampung memang begitulah jalan pikirannya.
Meski begitu, Markotop tak mau apabila segala usaha dan perjuangannya berakhir sia-sia. Ia telah naik haji. Ia juga ingin dipanggil sebagai haji, Haji Markotop. Maka, berbagai cara ia lakukan demi sebuah harga diri, demi usahanya selama ini, dan demi gelar haji di depan namanya.
Akhirnya ia menemukan cara. Ia mengundang orang-orang kampung ke rumahnya, menjamu mereka. Setelah semua orang kampong berkumpul melingkar, Markotop mengutarakan niatannya itu:
“Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu,” kata Markotop mengawali pidato. “Seminggu yang lalu, saya pergi ke tanah suci, ke Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji.”
Beberapa orang yang hadir waktu itu saling bertukar pandang. Ada yang masih asik makan, dan ada pula yang hanya termangu bisu seolah mengerti. Mekkah bagi mereka —orang kampung lugu— adalah negeri antah-berantah. Mereka acap mendengar nama kota itu, namun, kerap pula mereka tak mempedulikan dunia khayal yang hanya ada di dalam tempurung kepala mereka.