“Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah)!” demikian pesan Bung Karno. Semboyan ini mengingatkan pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa, begitu pula sejarah dalam Islam bagi umatnya. Salah satu peristiwa bersejarah yang monumental adalah Isra Mikraj.
Isra Mikraj merupakan peristiwa penuh makna dan nilai historis. Kejadian ini berlangsung hampir 900 tahun lalu, tepatnya pada 27 Rajab 621 H. Selain menyimpan hikmah mendalam, peristiwa ini mengajarkan umat Islam berbagai pelajaran penting, termasuk kewajiban melaksanakan salat lima waktu sebagai ibadah utama.
Membahas Isra Mikraj, kita perlu memahami maknanya. Mengapa peristiwa ini terjadi? Nabi Muhammad SAW saat itu menghadapi ujian berat: dakwah beliau ditolak penduduk Thaif, disusul wafatnya dua sosok penting yang menjadi pendukung dakwah, yakni Abu Thalib, sang paman, dan Sayyidah Khadijah, istrinya.
Penolakan penduduk Thaif meninggalkan luka mendalam bagi Nabi. Namun, kehilangan Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah lebih membuat beliau terpukul. Keduanya adalah tokoh terpandang yang melindungi dakwah Nabi dari ancaman kaum Quraisy. Setelah keduanya wafat, tekanan dan intimidasi terhadap Nabi semakin intens.
Dalam masa penuh kesedihan ini, Allah SWT menghibur Nabi Muhammad SAW melalui perjalanan spiritual yang dikenal sebagai Isra Mikraj. Pada 27 Rajab 721 Masehi, malaikat Jibril dan Mikail datang bersama Buraq untuk membawa Nabi dalam perjalanan malam dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Perjalanan ini disebut Isra. Selanjutnya, Nabi melanjutkan Mikraj, yaitu perjalanan ke langit ketujuh hingga Sidratul Muntaha, puncak tertinggi dalam tatanan semesta yang hanya bisa dicapai oleh Nabi Muhammad SAW dengan izin Allah.
Pesan dan Makna Isra Mikraj
Isra mencerminkan perjalanan malam, yang dapat dimaknai sebagai waktu untuk refleksi dan pengembangan intelektual. Sedangkan Mikraj menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan melalui ibadah. Ibadah, terutama salat, adalah sarana untuk mencapai puncak kedekatan dengan Allah. Sidratul Muntaha sendiri adalah simbol kekuasaan Allah di puncak semesta.
Mengapa malam menjadi waktu yang dipilih? Karena suasana malam cenderung tenang, bebas dari kebisingan, dan kondusif untuk merenung, belajar, atau beribadah. Dalam ketenangan malam, pikiran lebih mudah terfokus dan konsentrasi lebih optimal.