“Alangkah bahagianya seorang anak ketika mengetahui bahwa tak perlu jauh-jauh mencari surga, karena ia dekat dengan kita. Karena surga ada di bawah telapak kaki ibu.”
Begitu yang sering saya dengar dari guru, ustadz, dan kakak-kakak saya selama berada di pesantren.
Surga bagi setiap anak ialah ibunya, ibu yang mengandung selama sembilan bulan, yang menyusui selama dua tahun lebih, sebagaimana digambarkan dalam surah al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
Seorang ibu adalah sosok yang tak ada bandingannya bagi seorang anak. Ia harus membawa bobot diperutnya ke mana pun. Ia memberi makan bahkan dari sejak si anak berupa nutfah (sperma), ’alaqoh (segumpal darah), mudghoh (kerangka tulang), hingga jabang bayi.
Seorang ibu harus ekstra hati-hati memilih makanan untuk janin, karena hal tersebut akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, juga perlunya asupan nutrisi spiritual berupa bacaan ayat-ayat al-Quran yang secara terus menerus diperdengarkan, selawat, dan ucapan-ucapan baik dari si ibu.
Hingga Rasulullah pernah menjaab pertanyaan seorang Sahabat, “Wahai Rasulullah kepada siapakah saya harus berbakti (tanya Sahabat)?
“Ibumu,” (jawab Rasul).
“Lalu siapa?”
“Ibumu.”
Lalu siapa?
“Ibumu.”
Lalu siapa?
“Ayahmu.”
Ibu menjadi kunci sukses bagi kehidupan seorang anak sebagaimana dalam hadits Nabi dikatakan رِضَا الله في رِضَا الوالدَين و سُخطَ الله في سُخطِ الوالدَين, yang artinya: Rida Allah ada pada rida orangtua, dan kemarahan Allah ada pada marahnya orangtua.
Semakin sesorang tulus berbakti kepada orangtua, mendoakan orangtua, berkata baik pada mereka, tidak menyakiti bahkan tidak dengan sepatah kata ‘ah’ pun, maka rahmat Allah akan menyertainya ke mana pun ia pergi.