Aku membaca buku tugas anakku dengan cermat. Aku membuang napas, berat. Bu Ani, guru pelajaran mengarang anakku itu, memandangku.
Pagi itu, Bu Ani memanggilku untuk bertemu di taman. Dia teman kampusku waktu kami sama-sama kuliah di kota dulu. Raut wajahnya getir. Dia perempuan berusia tiga puluhan dan memiliki satu anak seusia anakku. Mereka sama-sama duduk di kelas tiga sekolah dasar.
Ani menungguku sampai selesai membaca karangan anakku. Lantas dia tersenyum. Aku menatapnya. Ada sesal mengakar di mataku dan aku rasa dia menangkapnya.
“Anakmu gadis kecil yang hebat. Dia pandai mengarang, sama sepertimu ketika kuliah dulu. Apa kamu mengajarinya?” tanyanya, memecah kebisuan di antara kami.
Aku menggeleng dan membetulkan letak kaca mata. Taman yang tak jauh dari rumahku tidak terlalu ramai hari itu. Aku bilang padanya bahwa kemungkinan putriku bisa menulis karena dia sering melihatku menulis di buku diary atau mengetik di laptop.
“Kamu masih menulis diary?”
“Ya. Untuk menghiburku saja.” balasku.
Aku membuang pandang. Dia menatapku, lekat, seperti mengecamku.
“Kamu liat sendiri bagaimana karangan putrimu di kelas. Aku bukan lulusan psikologi, tapi aku seorang ibu. Bagaimana kau bisa abai pada perkembangan putrimu sendiri?” geramnya. Dia menambah.
“Apa gunanya pendidikan kalau kau sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk anakmu.”
Aku tak menjawab. Dadaku bergemuruh. Aku membiarkannya menohokku dengan kata-katanya. Dia memendar pandang dan berdiri.
“Aku hanya ingin memberitahu itu saja. Aku harus pergi. Suamiku sudah menunggu.”
“Terima kasih.” balasku dan dia pergi, meninggalkanku sendirian.
Penyesalan menyemak di dada. Air mata merembes dari sudut pelupuk mataku. Aku mengusapnya sembari memandang Ani menjauh lalu hilang bersama deru mobil. Seandainya aku lebih memilihnya daripada Anjana, mungkin hal ini tak akan pernah terjadi.
Masih belum paham ending ceritanya 😆