Sebagai seorang Muslim, kita menyadari bahwa sekitar sepertiga dari Al-Qur’an berisi cerita. Dalam surat teragungnya (Al-Fatihah), Allah mengajarkan agar meminta petunjuk melalui cerita tentang orang-orang beriman sebelum kita.
Hal ini menunjukkan bahwa cerita memiliki kekuatan besar untuk menyentuh hati dan pikiran, berlawanan dengan anggapan bahwa cerita hanyalah bualan yang diperuntukkan bagi anak-anak.
Al-Qur’an lebih dari sekadar cerita. Ia merupakan pedoman yang membimbing manusia menjadi hamba yang lebih baik. Artikel ini menggali makna gaya bercerita unik dan mendalam Al-Qur’an, serta menyoroti hikmah dan dampak ilahinya.
Al-Qur’an menawarkan kisah-kisah terbaik dalam ajarannya kepada Nabi Muhammad. Meskipun beberapa pakar berpendapat bahwa kisah Nabi Yusuf A.S adalah yang paling istimewa, Al-Qur’an menegaskan bahwa kisah yang dipilih Allah memiliki nilai dan ajaran yang mendalam.
Ini menegaskan betapa pentingnya bercerita dalam Al-Qur’an untuk memberikan arahan kepada orang-orang beriman, serta menguatkan kebenaran sebelumnya. Allah tidak hanya memilih kisah-kisah ideal untuk diceritakan, tetapi juga menceritakannya dengan cara yang paling sempurna. Seperti dalam surat pertama surat Yusuf yang mengakui bahwa gaya bercerita Al-Qur’an adalah yang terbaik.
Surat Yusuf ayat 111 memperdalam pemahaman kita tentang beberapa fitur penting dari bercerita dalam Al-Qur’an dan menuturkan bahwa metodologi tersebut paling baik dalam mendukung misi utama Al-Qur’an “petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman.” Al-Qur’an memanfaatkan tradisi bercerita orang Arab untuk mencapai fungsi utamanya: memenuhi panggilan ilahi.
Berbasis Pelajaran
Muḥammad ibn ʿAshur (w. 1973), seorang ahli Qur’an terkemuka mengungkapkan bahwa penceritaan Al-Qur’an tidak dianggap sebagai ‘penceritaan terbaik’ hanya karena berbasis pelajaran, atau karena terbatas hanya pada kisah-kisah yang benar. Melainkan efektivitasnya dalam menyampaikan pelajaran-pelajaran tersebut ke dalam pandangan pembaca dan pendengarnya.
Al-Qur’an tidak menjelaskan secara detail tentang nama-nama orang dan garis keturunannya, serta nama-nama kota, misalnya “Di mana gua tempat Ashabul Kahfi tertidur?” Berbeda dengan sejarah dan biografi yang kita kenal. Sebab, informasi yang berlebihan dapat mengalihkan perhatian kita dari menyerap hikmah dan pesan dalam kisah itu sendiri.