Malam menukik tajam. Setelah akad ijab dan kabul usai, rumah mendiang Kiai Zaini Maftuh berangsur-angsur sepi. Beberapa kerabat dekat, bahkan kedua anak Kiai Fatah serta suami dan anak-anaknya, juga telah kembali ke rumah masing-masing. Kiai Syukri duduk sendirian di ruang tengah. Di hadapannya ada segelas kopi yang masih terlihat mengepul. Sedangkan, Bu Nyai Siti selepas membuatkan kopi kemudian beranjak ke kamar Ning Warda, anaknya. Dan tegukan-tegukan kopi hitam itu mengantar pikiran Kiai Syukri berselancar ke mana-mana. Tidak masuk dinalar bahwa malam ini dia akan menempati rumah mendiang guru-gurunya ini. Padahal dahulu memasuki rumah ini saja dia merasa tak pantas.
Kopi dalam gelas itu terus menguap bersama menguapnya waktu. Kini segelas kopi di atas meja itu tinggal separo. Uapnya telah berhenti mengepul. Bu Nyai Siti belum juga keluar dari kamar anaknya. Dan pikiran Kiai Syukri masih terus berselancar mengulas perjalanan hidup yang ia lalui.
***
Tepat lima belas tahun silam dia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini sebagai khodim Kiai Fatah. Dan perjalanan waktu terasa cepat sekali. Kini tiba-tiba dia sudah menjadi pemilik rumah yang pernah ditempati kiai itu. Sejak awal berdiri rumah ini memang selalu dihuni oleh para pengasuh Pesantren Futuhiyah. Ketika sekarang dia mendapat wasiat meneruskan estafet mengasuh pesantren, maka Kiai Syukri juga menempati rumah ini bersama istri yang merupakan putri pendiri Pesantren Futuhiyah.
Melihat deretan kitab yang dipajang di lemari seketika Kiai Syukri mengingat kenangan-kenangan saat mengaji pada Kiai Fatah. Banyak sekali pengajian kitab yang dia kaji secara khusus pada Kiai Fatah di rumah ini. Tafsir Jalalain dia kaji di kamar gurunya itu selama sekitar enam tahun. Kitab-kitab fikih semacam Nihayatuzzain,Fathul Mu’in, dan beberapa kitab lain juga dia kaji khusus.
Ketika itu kedua putri Kiai Fatah yang masih kecil juga ikut mengaji bersama Kiai Syukri muda. Selain itu masih ada banyak kitab yang dikaji secara khusus dengan waktu yang tidak ditentukan. Dari mengaji langsung pada kiai alim itulah keilmuan serta kepribadian Kiai Syukri ditempa. Tak jarang dia diminta untuk membaca kitab kosong atau diberi pertanyaan tentang permasalahan-permasalahan tertentu. Tekanan-tekanan dalam belajar itu membuatnya semakin matang dalam memahami kitab kuning. Mengingat kenangan-kenangan itu bulir-bulir air matanya menggenang di pelupuk mata.