Pada suatu hari di tahun 1988, Gus Dur bercerita menarik tantang pembunuhan PKI pada peristiwa 1965. Begini singkatnya. “Kamu PKI, ya?” gertak seorang kopral kepada sederet orang yang diborgol di bibir lubang kuburan massal di salah satu tempat di Malang Selatan, Jawa Timur.
“Mboten ndoro, kulo sanes PKI, kulo BTI,” jawab seorang yang kebetulan persis di depannya.
“Guuoblok!” bentak sang kopral mengakhiri. Dan hanya beberapa detik kemudian: dor-dor-dooor! Sekitar 30-an orang yang dijejer itu pun terjungkal masuk ke dalam lubang.
Ia, si penjawab yang terbunuh itu, memang benar-benar tak tahu apa itu PKI, persis seperti ia tak tahu apa itu BTI. Apalagi hubungan antara keduanya. Ia hanya tahu dan mendengar kabar dari teman-teman dan tetangganya bahwa PKI dilarang, pengikutnya ditahan atau dibunuh.
Tetapi, ia benar-benar tak tahu bahwa pengakuannya sebagai BTI ternyata tak juga menyelamatkannya dari maut, terkubur bersama 30 orang yang tak ia kenal. Sampai akhir hayatnya, ia tetap tak tahu apa bedanya PKI dan BTI, hingga di liang kubur massal.
Gus Dur tidak meneruskan ceritanya, dan orang yang mendengarkan disuruh memaknai sendiri.
Tidak hanya itu. Menurut kesaksian banyak orang di Madiun, terungkap bahwa Hasan Simin, seorang kiai desa di Magetan, tetap digorok lehernya meski diketahui sangat rajin beribadah, mengajar ngaji, dan tidak pernah melanggar ketentuan umum masyarakat sekitarnya. Ia dibunuh hanya karena tercatat pernah hadir di salah satu pertemuan BTI untuk membahas soal pembagian air irigasi sawah di desanya. Bahkan, sesaat sebelum digorok, atas izin si penggorok, ia sempat melaksanakan shalat isya.
Saya menyaksikan tujuh orang santri langgar yang tertangkap awal September 1965 disembelih bersama 20 orang lain dan dikubur dalam satu lubang di sebuah desa di Jember, Jawa Timur. Gara-garanya, mereka diajak perampok senior – dan diancam disiksa kalau tidak mau – untuk menggasak toko kelontong dan sembako tetangga desanya, dan karena kepepet ekonomi dan ketakutan, mereka ikuti ajakan itu.