Jiran duduk di depan masjid menunggu warga yang mau kerja bakti membersihkan lingkungan masjid guna menyambut tahun baru Hijriyah. Sudah sekitar tiga puluh menit dia mencakung di situ. Kemelut asap rokok terus menguar dari bibir tebalnya yang hitam. Ketika rokoknya habis, datanglah Jauhari membawa senyum lebar.
“Ada apa kiranya saudaraku ini membawa senyum begitu lebar. Sepertinya saya juga akan kecipratan rezeki,” sapa Jiran girang.
“Ha-ha-ha. Sendirian saja, Ran?” tanya Jauhari masih dengan senyum lebarnya, bahkan diiringi tawa. Setelah gagal jadi anggota DPRD beberapa bulan yang lalu, Jauhari memang jadi semakin murah tawa, bahkan untuk hal-hal yang tak lucu sekalipun.
“Sama kamu, ha-ha-ha,” Jiran menandingi tawa Jauhari. “Jadi, kenapa membawa tawa sepanjang jalan tadi?” lanjut Jiran.
“Kelihatan tawaku tadi ya?”
“Kelihatan jelas sejak kau jauh di sana, Ri, Jauhari. Gigimu sudah tampak dulu di kejauhan. Pasti kau sedang tertawa.”
“Masak iya gigiku kelihatan Ran, Jaran, eh. Jiran, maksudku. Maaf ya, ha-ha-ha. Ada cerita lucu, Ran, ha-ha-ha,” sahut Jauhari. Tawanya kian menjadi-jadi.
“Apa?” Jiran sedikit emosi karena dipanggil Jaran oleh Jauhari. Dalam bahasa Jawa jaran berarti kuda.
“Baiklah, akan kuceritakan. Kau pasti tertawa, ha-ha-ha-ha,” ucap Jauhari kembali diiringi tawa.
Maka mengalirlah kata-kata dari mulut Jauhari yang lebar itu.
“Rumahku berjarak seratus meter dari musala Miftahul Jannah, musala dekat perempatan jalan itu lo, Ran. Ha-ha-ha.”
Jiran mendengarkan sembari memelototi gawainya dengan tetap berusaha tertawa. Lalu datanglah Sugiono ke tempat itu, menyaksikan Jauhari yang bercerita diiringi tawa, disambut pula dengan tawa oleh Jiran. Sugiono pun berusaha tertawa untuk mengakrabi teman nongkrongnya itu. Takut dikira banyak utang kalau tak ikut tertawa ketika yang lain tertawa.
“Semenjak gagal jadi anggota DPRD itu, aku jadi selalu ingin salat di musala, salat berjamaah di sana. Bahkan pergi ke musala itu adalah hiburan yang paling kugemari. Ha-ha-ha.”