Literasi Pesantren, dari Monologis ke Dialogis

122 views

Demi kepraktisan dan kemajuan, tentu kita harus mengakui bahwa perkembangan literasi di pesantren sejauh ini masih meniscayakan kondisi paradoks yang cukup rumit. Paradoks tersebut terindikasi dari tidak konstannya sistem yang diterapakan, terutama perihal konstruksinya yang cenderung monoton dan monolog.

Padahal, kajian literasi di lingkungan pesantren mengajarkan pelbagai macam varian keilmuan yang cukup heterogen, mulai dari kajian klasik sampai kontemporer. Namun, heteroginitas tersebut tidak disikapi secara apresiatif. Ia justru berhenti pada level take and give, diberi untuk diterima. Bukan untuk dikaji, didiskusikan, apalagi dikritisi kompleksitasnya.

Advertisements

Anehnya, tidak banyak dari elemen pesantren (mungkin hanya Gus Dur) yang berusaha untuk memodifikasi kekeliruan epistemik-parsial ini, entah sudah dianggap mapan atau karena sengaja. Padahal, stagnansi sistem model demikian sangat berdampak signifikan bagi produktivitas dan kreativitas santri yang berdomisili di dalamnya.

Tulisan ini sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk dapat memberikan opsi atau jalur alternatif bagi kontruksi dan perubahan sistem literasi di pesantren ke depannya. Mulai dari sistem pengajaran monolog menuju dialog dan dari sistem mengaji menuju mengkaji

Literasi Dialektis

Secara simplistis, literasi lebih memprioritaskan pada hal-hal yang bersifat interpretatif, yaitu kemampuan individu untuk memahami sekaligus mengkritisi objek yang ada di sekitarnya. Kemampuan untuk memahami dan mengkritisi ini tidak bisa muncul secara spontan, ia membutuhkan stimulasi yang intens dan konsisten, dan karenanya harus terus dilatih dengan cara mendiskusikannya secara dialektis (dialogis-kritis).

Lingkungan pesantren sangat jarang mempraktikkan model literasi demikian. Pesantren menawarkan sistem dengan pola yang berbeda, yaitu pengajian monologis. Model demikian tidak berarti salah secara keseluruhan. Dalam beberapa momentum, sistem pengajian monologis sangat efektif untuk diterapkan, terutama pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat teologis-doktriner, walaupun pada titik tertentu juga membutuhkan pendekatan dialektis.

Penting untuk diperhatikan, pada momen tertentu, pendekatan monologis tentu cukup rentan mengarah pada klaim kebenaran sepihak (eksklusivis). Sebab, ia tidak membuka ruang adanya koreksi dan kesempatan untuk memahami sesuatu dari sudut pandang yang lain. Paradigma yang sempit itu, pada kulminasinya akan menghilangkan daya kritis terhadap sesuatu yang seharusnya masih membutuhkan pengkajian dan penalaran.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan