Seperti yang dilansir koran Jawa Pos, dalam penangkapan seorang PNS terduga teroris di Tangerang, Banten (15/03/2022), Densus 88 Anti Teror Polri mengamankan 4 buku bacaan, 1 buku tabungan, 1 handphone, dan 1 kartu ATM. Uniknya, lagi-lagi buku menjadi barang bukti dalam penangkapan para tersangka terorisme. Dan seakan-akan, eksistensi buku tidak bisa dipisahkan dalam ruang gerak dunia terorisme.
Sebagai tambahan, sedikit kita menoleh ke belakang, dalam drama penangkapan teroris di Ciputat pada 2014 lalu, pihak aparat juga mengamankan sekitar 50 buku yang diduga menjadi sumber inspirasi bagi pelaku terorisme. Di tahun sebelumnya pula (2013), tepatnya di pertengahan bulan Mei, juga terjadi penggerebekan di Solo, Jawa Tengah. Saat itu, polisi menemukan sejumlah buku dan kemudian membakarnya.
Pada kenyataannya, dari sejumlah buku yang dijadikan barang bukti dari setiap penangkapan, saya telusuri, rata-rata bertemakan tentang bagaimana jihad dilakukan. Dari sejumlah buku itu, para pengamat terorisme yakin bahwa buku adalah satu-satunya faktor serta yang menjadi alat vital dalam membangun ideologi makar yang kemudian mengalir dari satu kepala ke kepala lainnya.
Sampai di sini kita akan dihantui pertanyaan-pertanyaan; apakah hanya karena buku, seseorang nekat akan melakukan aksi teror? Lantas, seberapa besar dampak buku dalam memotivasi pelaku? Kemudian, bagaimana kita meresponsnya?
Abu Ezza dalam bukunya Pengantin Teroris: Memoar Jihad NA (2010), mengatakan, bahwa rata-rata para pelaku seringkali termotivasi dari doktrin-doktrin agama yang bernuansa radikal. Dari doktrin-doktrin religi inilah kemudian membentuk ideologi-ideologi keras yang bersifat kaku, yang pada akhirnya malah menjadi stimulus dan landasan teologis untuk melakukan aksi teror di hari-hari yang telah ditentukan nanti.
Memang tidak bisa dimungkiri, dari tahun ke tahun ruang gerak terorisme semakin meluas. Di tahun 2021 kemarin saja, tercatat ada dua kasus terorisme. Pertama, saat terjadi pengeboman di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (28/03/2021); dengan model aksi bom bunuh diri. Kedua, terjadi di kompleks Mabes Polri Jakarta (31/03/2021); ketika seorang wanita berumur 25 tahun menyerang dengan menggunakan senjata api. Berdasarkan hasil penelusuran polisi, kedua kasus ini sama-sama berangkat dari kesalahan dalam beragama. Dengan kata lain, mereka (pelaku teror) mendapat suntikan motivasi akibat terjebak dalam interpretasi sebagian ajaran agamanya, dibantu dengan berbagai jejaring-jejaring yang sifatnya underground.