Jauh sebelum Al-Qur’an distandarisasi dan kemudian dibakukan pada masa Khalifah Utsman, ia lebih dulu dirawat dalam kepala sahabat. Sistem hafalan tersebut yang lama digunakan di samping juga ditopang oleh penulisan surah dan ayat di beragam benda—pelepah kurma dan semacamnya. Hingga sampai pada penyeragaman bacaan dan pembukuan Al-Qur’an yang sekarang kita mafhum sebagai muhsaf Utsmani.
Mushaf inilah yang menjadi representasi dari dinamika Al-Qur’an baik sebagai rupa kalam Tuhan sampai sistem oral zaman nabi. Implikasi logisnya dari hal ini tidak lain Al-Qur’an menjadi sesuatu yang, secara kasar, dilembagakan dan diresmikan dalam bentuk korpus, sebagaimana istilah Arkoun.
Di sini kita akan melihat bagaimana pembacaan Muhammad Arkoun terhadap Al-Qur’an. Ia adalah salah seorang pemikir muslim yang banyak menghabiskan waktunya di Eropa, secara spesifik Prancis.
Arkoun lahir di suatu wiliyah di Aljazair yang dikenal Kabilia. Sejak awal ia memang konsen di bidang bahasa, khususnya sastra Arab. Arkoun menyelesaikan sarjananya di Universitas Aljir, Aljazair, di samping menjadi pengajar di pinggir kota negaranya, sebelum akhirnya ia migrasi ke Prancis.
Satu hal yang hendak saya ulas di sini dan kemudian akan mencari relevansinya dengan konteks mutakhir. Selanjutnya, satu istilah yang harus kita pegang di sini adalah “korpus resmi tertutup” dalam istilah Arkoun sendiri.
Di dalam pembacaan Arkoun terhadap Al-Qur’an memang memberi peluang banyak terhadap akal. Jauh sebelum itu, entitas nalar bayani (dalam istilah Abid al-Jabiri) yang memonopoli umat seolah-olah menyempitkan peranan akal. Apalagi ketika kaitannya dengan Al-Qur’an, akal sering diletakkan pada satu derajat yang nisbi dan sukar mencapai kebenaran.
Meski Arkoun paham bahwa Al-Qur’an sudah distandarisasi dalam korpus resmi tertutup, menurutnya tetap ada peluang kritik. Dengan demikian, Al-Qur’an masih bisa dilakukan pembacaan dan reinterpretasi terhadap kandungan di dalamnya (Baedhowi, 2017:159).
Satu hal yang semula digaungkan dalam pemikiran Arkoun tidak lain bahwa Al-Qur’an memiliki nalar historis yang kuat. Ada selingkung budaya di balik setiap ayat dan surah dalam Al-Qur’an itu sendiri. Maka, kita harus mengakui untuk membacanya tidak cukup hanya dengan literal dengan apa yang tampak. Oleh sugesti semacam itu menjadi sangat urgen jika memahami Al-Qur’an dengan multidisipliner.