Nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang cair dan dinamis. Namun, tidak sedikit kalangan yang membatasi nasionalisme pada pengertian-pengertian sempit dan beku. Batasannya biasanya diletakkan pada romantisme masa lalu, patriotisme terhadap musuh, paranoia terhadap ancaman bangsa, cinta posesif terhadap negara, atau gairah persaingan ideologi.
Pada konteks zaman tertentu, pengertian-pengertian itu benar, tetapi tidak selamanya. Namun tidak sedikit juga kalangan yang menginginkan pengertian-pengertian itu diabadikan dan dilestarikan karena ada tujuan terselubung. Tetapi, apakah keyakinan tersebut akurat dan memadai untuk mengarungi masa depan?
Jawabannya relatif tergantung pada faktor apa yang melatarbelakangi lahir dan terawatnya nasionalisme di sebuah zaman. Namun, sebelum membahas soal itu, perlu untuk mendudukkan lebih dulu bagaimana mesin cetak merangsang tumbuhnya nasionalisme, dan bagaimana perbedaan polanya di beberapa negara.
Momen ketika Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak (printing press) di tahun 1439 adalah sebuah revolusi. Dunia sebelum Gutenberg merupakan dunia soliter di mana individu sangat terbatas dalam membayangkan dan mengimajinasikan lingkungan sekitar serta kondisi orang sekitar yang mungkin memiliki nasib sama sepertinya.
Mesin cetak Gutenberg memungkinkan ide, cerita, berita, peristiwa, dan kabar dapat dibagi ke banyak orang. Sejak saat itu, imajinasi individu tentang dirinya dan tentang kerabat sekitarnya yang mungkin beridentitas atau bernasib sama mulai mengalami perekatan. Tersedianya fasilitas untuk berimajinasi itulah yang kemudian mendorong lahirnya nasionalisme.
Benedict Anderson dalam bukunya, Imagined Communities (1995), mengatakan, “Sebuah nation adalah komunitas politik terbayang. Ia bersifat terbayang karena, bahkan sebagian besar anggota kelompok tidak akan pernah mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar anggota kerabat lainnya. Meskipun begitu, di benak mereka tertanam bayangan komunal.” Imajinasi yang dipicu oleh surat kabar membuka kesadaran komunal soal basis kekerabatan kolektif, yang pada gilirannya dikukuhkan secara sosial-politik. Akan tetapi, proses pengukuhan itu adalah jalan terjal yang presedennya berbeda-beda di tiap masyarakat.
Di Eropa, kekerabatan berbasis bahasa perlu berkontestasi dengan model politik lama berbasis religi. Di Perancis, selain karena basis bahasa, imajinasi kekerabatan tumbuh dipantik oleh pengalaman patriotik Napoleon dan pengalaman kelam terhadap feodalisme. Di Indonesia, dan sebagaimana umumnya kawasan Asia Tenggara lainnya, nasionalisme tumbuh bukan karena bahasa, melainkan pengalaman patriotik melawan penjajah di suatu wilayah teritori tertentu.
2 Replies to “Membaca Ulang Nasionalisme Indonesia di Awal Kemerdekaan”