Dalam sejarah sosial-politik Indonesia, istilah santri, priyayi, dan abangan adalah tiga kategori sosial yang digunakan untuk mengelompokkan masyarakat Jawa berdasarkan afiliasi religius dan status sosial mereka.
Klasifikasi ini pertama kali diperkenalkan oleh Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika, dalam karyanya yang sudah menjadi buku klasik berjudul The Religion of Java (1960). Tiga kategori ini mewakili berbagai cara pandang masyarakat Jawa terhadap agama, budaya, dan kehidupan sosial. Namun, seiring dengan perubahan zaman, batas-batas antara kelompok ini mulai kabur dan mengalami berbagai modifikasi.
Pengertian Santri, Priyayi, dan Abangan
Geertz mendefinisikan santri sebagai kelompok masyarakat yang taat beragama Islam, mengidentifikasi diri mereka dengan ajaran Islam ortodoks, dan sering kali terlibat dalam institusi-institusi keagamaan.
Kaum santri biasanya adalah mereka yang aktif dalam kehidupan keagamaan, mengikuti ritual-ritual Islam dengan ketat, dan memiliki hubungan yang kuat dengan ulama atau pesantren. Dalam konteks tradisional, kaum santri sering ditemukan di perdesaan dan menganggap Islam sebagai fondasi utama dalam kehidupan sosial dan politik mereka.
Di sisi lain, priyayi adalah kelas aristokrat atau birokrat yang terhubung dengan kerajaan atau struktur administratif kolonial. Kelas priyayi lebih sekuler dalam kehidupan sehari-hari, sering kali menggabungkan nilai-nilai Hinduisme dan tradisi Jawa kuno dalam pandangan hidup mereka.
Priyayi lebih menekankan pada status sosial, kebangsawanan, dan nilai-nilai kultural Jawa yang halus (kejawen). Mereka cenderung menjauhkan diri dari kehidupan keagamaan Islam yang kaku dan lebih mendekat pada estetika dan etika Jawa yang kaya.
Adapun, abangan adalah kelompok yang menurut Geertz memiliki praktik Islam yang longgar. Mereka cenderung menjalankan ritual-ritual Islam secara sinkretis, mencampurkannya dengan tradisi animisme, Hinduisme, dan Buddhisme Jawa. Kelompok ini lebih fokus pada aspek budaya dan tradisi lokal dibandingkan dengan ortodoksi agama. Biasanya, abangan ditemukan di kalangan petani dan masyarakat pedesaan yang memiliki ikatan kuat dengan budaya Jawa pra-Islam.