Belakangan ini, media sosial di Indonesia dihebohkan oleh pernyataan seorang pendakwah yang mengolok-olok penjual es teh dalam sebuah acara keagamaan. Ucapan tersebut memicu reaksi beragam dari masyarakat, terutama di kalangan netizen yang merasa bahwa kritik tersebut tidak hanya tidak pantas, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan dalam memandang pelaku usaha kecil.
Sebagai respons terhadap pernyataan kontroversial tersebut, meme “jualan es teh lebih mulia daripada jualan agama” begitu masif tersebar di media sosial. Meme ini tidak hanya menjadi bahan candaan, tetapi juga mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap fenomena sosial yang terjadi.
Fenomena meme “jualan es teh jauh lebih mulia daripada jualan agama” yang beredar luas di media sosial bukan sekadar kritik spontan. Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap fenomena sosial di Indonesia, khususnya terhadap perilaku sebagian mubalig atau penceramah agama. Kritik ini hadir sebagai reaksi atas ketidaksesuaian antara pesan moral yang disampaikan dan kehidupan pribadi para penceramah tersebut.
Di Indonesia, mubalig sering kali menjadi figur sentral dalam kehidupan keagamaan. Mereka tampil megah di panggung dakwah, memberikan nasihat tentang hidup sederhana, menjauhi kehidupan duniawi, hingga ajakan memperbanyak ibadah. Namun, ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang justru menjalani kehidupan yang bertolak belakang dengan pesan yang mereka sampaikan. Gaya hidup yang mewah, kendaraan mahal, dan fasilitas eksklusif yang mereka nikmati membuat publik mempertanyakan keikhlasan dan ketulusan dalam menyampaikan dakwah.
Salah satu kontradiksi yang paling mencolok adalah bagaimana sebagian penceramah menuntut jemaah untuk hidup sederhana, tetapi mereka sendiri tampil dalam balutan kemewahan. Hal ini bukan hanya menimbulkan rasa iri, tetapi juga menciptakan celah untuk kritik tajam. Jemaah yang selama ini menghormati penceramah sebagai panutan mulai mempertanyakan apakah dakwah itu masih menjadi misi suci atau telah berubah menjadi bisnis menggiurkan.
Fenomena ini menggambarkan kondisi di mana “jualan agama” menjadi lebih laris dibandingkan usaha-usaha sederhana, seperti menjual es teh. Kalimat tersebut menyentil sebuah ironi: es teh, yang jelas merupakan produk duniawi, dianggap lebih mulia karena menawarkan kejujuran. Penjual es teh tidak menyembunyikan motivasinya untuk mencari nafkah. Sebaliknya, menjual agama dengan membungkus pesan keikhlasan tetapi disertai motif duniawi, dianggap sebagai bentuk kemunafikan.