Daun-daun berlucutan meninggalkan pohon. Semula, dahan-dahan perkasa menyimpan teduh. Tempat para burung titipkan cericit pada sulur arunika. Tempat purnama menjatuhkan seberkas sinar. Membuka tabir rahasia alam yang selama ini meraja. Dahan, ranting, dan daun turut bercahaya menyibak tirai kegelapan. Tapi kini, batang penopang kering kerontang. Akar penunjang mengering seiring kemarau yang memanjang.
Selamat datang, Nirwana. Dulu, orang bilang tanah ini tanah surga. Hamparan hutan ialah istana. Lagi-lagi harus kukatakan, itu dulu, Nirwana. Permai yang dahulu damai, kini telah lenyap. Akan kuceritakan padamu perihal tanah surga yang mengelam ini.
Pagi tadi, gumpalan awan menggelayut menguluk salam. Gerimis menetes jenuh. Lamat-lamat ia merajuk.
“Mana kekasihku yang dulu permai?” tanyanya.
Tidak ada yang menyahut. Siangnya, deras hujan menimpa bumi. Sehari pun tiada henti. Tanah basah mengeluh. Mereka telah melenguh pasrah. Di dalam retakannya, doa-doa lirih tersimpan. Rintihannya sampai ke langit. Kalau pun tetes hujan mampu menghempas tanah gersang, apakah rekahannya mampu menghalau air hujan?
Manusia masih saja beradu tanya dan tunjuk salah. Daku, dikau, tuan, ataukah puan? Ikrar menari dalam kelakar. Senyum jumawa turut berpongah dalam kerah-kerah berdasi. Lelucon dunia berpesta pora. Panggung sandiwara mulai dipertontonkan. Mereka asyik memasang poster. Di jalanan, gedung-gedung, kafe, dan deretan warung kelontong. Mereka sibuk berorasi. Menyampaikan aspirasi tujuannya.
“Jangan merusak paru-paru bumi,” katanya.
Mereka merasa tahu segalanya. Padahal, selalu menutup mata di kala musibah datang. Mereka akan mengelola alam dengan bijak. Lagi-lagi itu hanya katanya, Nirwana, katanya. Lalu nyatanya?
Nirwana, berjalanlah ke lembah di ujung sana. Bisakah kau temui kungkang atau gerombolan bekantan? Bawalah ke hadapanku, Nirwana. Atau kau hanya akan menemukannya sepuluh tahun mendatang di museum kota.
Tuan … puan … semua gila cuan. Mengambil celah nikmat, tapi lupa dengan amanat. Manusia-manusia itu pemuja dunia, Nirwana. Datanglah pagi hari. Maka kau hanya akan mendengar suara gergaji mesin parau bak orkestra yang tak enak didengar. Lalu, sorenya kau akan mendapati pohon meranti yang batangnya sebesar lingkaran tangan dua orang dewasa sudah lenyap tinggal serpihannya.