MENCARI NUR YANG HILANG
Tuhan, aku tengah berjalan dalam petang
Melewati gunung, menyusuri lembah
Mencari nur yang hilang
Dari tubuh yang kian lapuk
Tuhan, peta ini terlalu luas
Untuk langkahku yang terbatas
Tanpa sebuah kompas
yang tergenggam dalam jemari
Masihkah sempat diri melafal asma
Bila senja hanya sebatas membayang di kepala
Cirebon, 2022.
KEPADA MA
Aku melihatnya pada wajah mentari dengan tubuh kekar menahan panas
Ia tetap berjalan meski ranting kakinya
Harus mengarungi lautan, menyusuri daratan
Air bercucuran mengalir dari tubuh pengorbanan
Hujan dari matanya memanggul keikhlasan
Ia dikenal sebagai akar peradaban
Tak cukup aku memandanginya dengan sebuah kacamata,
Atau menerjemahkanya dalam buku cerita
Ia yang kudengar rumah peribahasa
Yang menuntunku pada pelabuhan masa
Ia yang kulihat mutiara tanah surga
Yang bisa kuendus baunya
Andai daksamu tak berselimut senja
Aku ingin mendekapmu lebih lama
“Mengajakmu berwisata menunggangi pesawat yang kau pinta, Ma?”
Atau memakan biskuit dengan segelas susu dalam satu meja
Ma, aku kehabisan kata-kata
Cirebon, 2022.
DI SEBERANG JALAN PERJUANGAN
Di seberang jalan perjuangan
Kulihat mereka tengah berpuasa
Dari pagi hingga menuju malam
Bukan hanya sekadar untuk tiga belas jam
Merayakan nafsu, lapar, dan dahaga
Ia berpuasa
Untuk hidup!
Tepat berdiri di jalan perjuangan
Kulihat orang-orang pinggiran
Bertubuh ramping, perutnya kekar
Lebih kekar daripada olahragawan
Di kepal tanganya ia memegang slogan yang kesepian
Berdebu, hingga usang
Cirebon, 2022.
ilustrasi: karya affandi (1944).