Jangan teralu nelangsa jika di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir politik identitas menguat, dilengkapi dengan maraknya politik kebencian. Gejala itu bukan cuma terjadi di Indonesia. Gejala serupa justru lebih dulu terjadi di berbagai negara, bahkan di negara-negara maju dengan tradisi demokrasi yang kuat, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Memang terasa dan terlihat sebagai ancaman yang mengerikan bagi keberlangsungan demokrasi global. Namun, Francis Fukuyama yakin pada akhirnya gejala tersebut akan menemukan titik keseimbangan baru dan akan memperbaiki sistem demokrasi yang saat ini “dibajak” politikus-politikus populis.
Francis Fukuyama, yang sohor melalui karya fenomenal The End of History and the Last Man (1992), mencoba menelusur akar-akar politik identitas dan politik kebencian hingga ke masa-masa yang jauh di belakang. Buku ini, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, terbit pertama kali pada 2018, ketika politik identitas, politik populis, dan politik kebencian meraja di Amerika Serikat dan mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih. Dalam edisi Indonesia, Identitas diterbitkan Bentang pada 2020.
Buku setebal 263 halaman ini terdiri atas 14 bab. Pada bagian-bagian awal, Fukuyama menelusur akar-akar politik identitas dan politik kebencian hingga ke masa-masa yang jauh ke belakang sebelum orang mengenal istilah bangsa (nasion) dan negara modern (nasion-state). Fukuyama membongar khazanah para pemikir terdahulu sejak Yunani kuno hingga Revolusi Prancis dan Revolusi Industri.