Bayangkan sebuah malam di masa lalu, ketika langit masih dipenuhi bintang-bintang yang tak terhitung. Seorang manusia purba menatap ke atas, bertanya-tanya: “Siapa yang menciptakan ini semua?”
Ribuan tahun kemudian, pertanyaan itu masih sama, tapi jawabannya telah berubah. Bukan lagi sekadar mitos atau dogma, melainkan panggilan untuk bertindak. Karena Tuhan mungkin di surga, tapi keadilan harus dirajut di bumi—dengan tangan yang berani, keringat yang jatuh, dan risiko yang ditanggung.

Inilah kisah tentang manusia yang menggugat langit bukan untuk mengutuk Tuhan, tapi untuk menemukan-Nya dalam desiran angin perjuangan.
Tuhan, dalam kitab suci-Nya, tak pernah meminta kita jadi penganut yang patuh tanpa akal. Justru, Dia mengajak kita berdebat.
Lihatlah Ibrahim, sang bapak monoteisme, yang berani mempertanyakan berhala, bulan, bahkan matahari—sampai akhirnya menemukan Tuhan yang Maha Esa (QS. Al-An’am:76-79). “Apakah kalian tidak berpikir?” (Afala ta’qilun?), tanya-Nya dalam Al-Qur’an lebih dari 13 kali. Pertanyaan itu bukan teguran, tapi undangan: “Bangunlah! Gunakan akalmu, meski kau harus menggugat langit!”
Tapi di mana kita? Kita sering terjebak dalam dua kutub: mengutuk agama sebagai candu, atau terpenjara dalam ritual tanpa makna. Padahal, Al-Qur’an sendiri menyimpan 70 ayat lebih yang memerintahkan kita berpikir, merenung, dan mengkritik. Iman tanpa akal adalah fanatisme. Akal tanpa iman adalah kekosongan. Lalu, di mana titik temunya?
Suatu hari, Prometheus—si pemberontak mitologi Yunani—mencuri api dewa untuk manusia. Api itu simbol pengetahuan, keberanian, dan pembebasan. Tapi dalam Islam, cahaya keadilan bukanlah sesuatu yang “dicuri”. Ia datang dari petunjuk Ilahi, namun harus dinyalakan oleh tangan manusia. “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri sendiri,” firman-Nya dalam Q.S. Ar-Ra’d:11.
Di sini, kita dihadapkan pada paradoks: Tuhan Maha Kuasa, tapi keadilan tak akan turun dari langit seperti hujan. Kita harus menanam benihnya di bumi, menyirami dengan keringat, dan mempertaruhkan nyawa. Seperti Umar bin Khattab yang menggenggam cambuknya, berjalan di pasar untuk memastikan tak ada rakyatnya yang kelaparan. Atau seperti Rumi yang berkata: “Jangan hanya mencari cahaya—jadilah cahaya!”