Membincang tentang dunia kepenulisan, khususnya sastra, selalu menarik dan seakan tak pernah kekeringan cerita. Itulah yang tergambar saat berlangsung diskusi kepenulisan dan sastra di Rumah Literasi (Rulis) Sumenep pada Sabtu (17/10/2020). Rulis bagian dari jejaring Komparasi (Komunitas Presentasi dan Apresiasi), dan merupakan kawah candradimuka para penulis di Pulau Madura, khususnya kaum santri.
Bertempat di Pendopo Atas Taman Sumenep, diskusi ini dihadiri oleh banyak penulis dan pengamat sastra di sekitar Sumenep. Salah satunya adalah Raedu Basha, penulis muda berdarah Madura yang lagi naik daun. Ia dikenal telah banyak menelurkan karya dari berbagai gendre, mulai puisi, cerpen, novel, esai, artikel, kritik sastra, dan lain sebagainya,
Sebagai penulis muda, Raedu Basha telah memperoleh banyak apresiasi dari berbagai kompetisi kepenulisan. Pada Kamis (15/10/2020), misalnya, ia menerima “Anugerah Sotasoma” dari Balai Bahasa Jawa Timur. Saat menerima penghargaan tersebut, Raedu memberikan orasi sastra yang dirilis langsung (streeming) oleh FB Balai Bahasa Jawa Timur. Penghargaan serupa pernah diperoleh Lilik Shobari, penggagas Rumah Literasi Sumenep.
Diskusi Penulis Madura
Diskusi di Rumah Literasi Sumenep diawali sambutan oleh Lilik Shobari. Tempat ini, menurut Lilik, adalah wadah kreasi kepenulisan yang ada di Sumenep. Berbagai kegiatan dan bahkan penerbitan juga sudah pernah dilakukan.
“Rumah Literasi sudah bekerja sama dengan berbagai lembaga di Sumenep, termasuk Pesantren Annuqayah untuk membangun karakter kepenulisan yang berkelanjutan,” demikian sambutannya. Ia mengibaratkan, Rumah Literasi Sumenep ini sabagai Kawah Candradimuka, wadah untuk menggembleng kepenulisan yang terus mengibarkan semangat menulis meski dalam kondisi pandemi Covid-19.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan presentasi dari Raedu Basha. Ia menyoroti perkembangan kepenulisan sastra kekinian. Menurutnya, kini sastra seakan sudah berjarak dengan masyarakat. Padahal, dalam keseharian, aktivitas masyarakat lokal sarat dengan kegiatan (ber)sastra. Seperti tahlil, maulid, dan kegiatan keagamaan lainnya tidak lepas dari sastra.
“Keseharian dari kegiatan kita tidak lepas dari sastra. Dari kegiatan keagaaman, sosial kemasyarakatan, hingga diskusi dan dialog tentang kesastraan,” Raedu menjelaskan. Kewajiban kita, para penulis muda, adalah mendekatkan (kembali) sastra dengan masyarakatnya.