Kembali, ruang publik baru yang tercipta akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi diwarnai sengkarut percakapan akibat sebuah cuitan yang dinilai melebihi batas etika publik.
Kegaduhan itu dipicu sebuah konten “meme” yang diunggah oleh Kharisma Jati, seorang komikus asal Yogyakarta, dengan menjadikan foto Ibu Iriana yang berpose dengan Kim Keon Hee sebagai bahan konten. Meme tersebut diunggah dalam sebuah akun miliknya pada salah satu platform media sosial pasca gelaran Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali.

Padahal kita tahu, Ibu Iriana selain sebagai seorang ibu, juga seorang perempuan yang tak lain adalah istri dari Presiden Joko Widodo. Tentu harus diberikan penghormatan padanya sebagai Ibu Negara. Begitu juga dengan Kim Keon Hee, sebagai seorang Istri dari Presiden Korea Selatan, harus diberikan penghormatan dan ditempatkan sebagai Ibu Negara.
Sementara, meme dengan foto Ibu Iriana yang berpose dengan Kim Keon Hee ini, ketika diberikan kode tambahan dengan narasi dialog meski sangat pendek, adalah sebuah komunikasi yang kurang etis. Karenanya, cuitan itu menuai respons publik secara spontanitas. Inilah cuitannya:
“Bi, tolong dibuatkan tamu kita minum.”
.”Baik, Nyonya.”
Terhadap cuitan tersebut, sebagian besar komentar dari netizen menilainya sebagai pesan komunikasi yang merendahkan, bahkan mengandung unsur penistaan sehingga perlu diproses secara hukum.
Artikel ini mencoba memahami bahwa fenomena komunikasi yang sedang terjadi dalam ruang publik baru ini dapat memberikan gambaran bagaimana pengguna media sosial masih menjadikan kebebasan berekspresi sebagai pemicu tumbuhnya budaya komunikasi yang cenderung tidak terkontrol, bahkan melanggar etika publik.
Mengingat, model komunikasi semacam ini, sesungguhnya sedang menunjukkan bagaimana komunikasi dilakukan dalam ruang virtual, di mana konten-kontennya diproduksi secara bebas dan seolah mengabaikan persoalan nilai (etis, moral, spiritual).
Hal ini terjadi akibat didekonstruksinya nilai-nilai yang mapan dan dibiarkannya nilai-nilai tersebut mengambang, tanpa ada resolusi (indeterminasi). Selain itu, dalam fenomena ini juga menunjukkan adanya pergeseran makna yang sedang terjadi dalam proses komunikasi di ruang publik baru ini. Seolah, para pengguna media sosial hanyut pada mekanisme medianya sendiri, dibandingkan dengan makna komunikasi itu sendiri.