Dalam kancah sosiopolitik, umat saat ini berada dalam tataran pengaktualisasian beragama yang belum sehat seutuhnya. Sebagian masyarakat masih mengidap “penyakit taklid buta” terhadap identitas tertentu —dalam hal ini identitas kearaban. Jika hal ini terus dipelihara berkepanjangan, bahayanya mampu menimbulkan efek laten. Yaitu, tumpulnya nalar kritis, susah mengidentifikasi kebenaran, hingga melanggengkan hierarki sosial yang bisa jadi berakibat hegemoni serta pendiskriminasian.
Di tengah kondisi runyam ini, Musa Khazim Alhabsyi (2022), keturunan shahih Alawiyin, membongkar dan menerobos terhadap kesalahpahaman yang telah mengecambah. Musa Khazim mengkritik tajam fenomena “habibisme”, penyelewengan gelar habib penuh intrik yang tidak lagi meninjau aspek alim serta akhlakul karimah. Lebih lanjut, juga ihwal hasrat penegasian jati diri sebagai anak bangsa yang bangga mengikuti mode kearaban (arabness), alih-alih mendengungkan khazanah dan kearifan lokal (budaya Nusantara).
Arab sedari dulu memang memiliki nilai plus saat terjun di dalam dialektika masyarakat. Arab dipersepsikan tempat sakral kaitannya dengan Islam. Ketika atribut kearaban ataupun entitas dari Arab (Hadramaut) melekat, pada gilirannya ia dianggap simbol keislaman dan kesalehan. Inilah kemudian memantik pertanyaan besar, apakah hal tersebut warisan ajaran agama (Islam) sehingga lazim diamalkan? Atau bentuk normalisasi kesalahan? Dibutuhkan permenungan mendalam untuk mendedah jawaban tersebut.
Fenomena Hegemonik Arabness
Alasan mengapa hegemoni kearaban (arabness) begitu kokoh di masyarakat, karena masyarakat kita mengaplikasikan “madzhab mahabbah”. Masyarakat diajarkan untuk mencintai ahlul bait Nabi Saw. Indoktrinasi tersebut menjadikan gairah masyarakat sangat bergelora memanifestasikan tindak kasih kepada keturunan Nabi yang dijumpai. Prasangka baiknya bergulir secara kontinu. Hingga kemudian tumbuh cara pandang siapapun personality berparas Arab ataupun berdiaspora dari Hadramaut, ia adalah “habib” yang masih terkoneksi genealogis dengan Nabi Muhammad Saw.
Lebih-lebih, sebagian masyarakat meleburkan semangat penghormatan dan sikap taat. Hal demikian sebenarnya baik, tapi sayangnya tidak dibarengi nalar sehat kognitif dan sikap kritis. Mereka mendisfungsikan nalar kritis ihwal menghormati itu keharusan (wajib) dan taat mengikuti bukanlah suatu keharusan (relatif). Hal ini menjadikan massa tetap mengikuti habib yang gelagatnya tidak mencerminkan akhlak sang datuk –sering mencaci, mengumpat, menghardik liyan– hingga terperosok ke lembah provokasi