Sadar atau tidak, kita telah hanyut di dunia kedua—jika memang istilah ini presisi dan layak. Dunia dengan bungkus maya dan akhirnya disuguhkan di hadapan kita. Implikasinya, tidak ada sarapan nasi yang disusul puding sebagai penawar amis. Semua sarapan pagi kita berganti dengan membuka gawai dan masyuk dalam-dalam. Dari pagi yang satu ke pagi selanjutnya terus seperti itu, seolah menjadi siklus mayoritas umat manusia. Hanya di abad ini, seseorang menafikan estetika bunyi burung atau matahari yang meninggi.
Seandainya disuruh menulis cerita, beberapa orang kemungkinan menolak memulainya dengan ungkapan klise “di pagi yang buta, matahari membuka mata”. Alih-alih begitu, kemungkinan besar memilih dengan pembuka “sebuah notifikasi tiba-tiba menyembul di pagi hari”. Tenang saja, ini hanya kelakar dan sebuah usaha dari saya untuk mengungkapkan beberapa pergeseran di pagi hari. Memang, masih ada bapak yang menyeruput kopi, tetapi di tangan kanannya juga terdapat telepon pintar.
Dunia berubah dan siapapun dipaksa untuk hanyut di dalam perubahan tersebut. Dinamika dunia digital menunjukkan taringnya dan mengkonstruk siapa saja yang terjun. Iqbal mengungkapkan dengan gayanya yang khas bahwa ia dipaksa berbicara. Maksudnya, di dunia yang serba digital, medsos lebih tepatnya, semua orang mesti berbicara. Apalagi, orang yang dipandang punya suatu kompetensi dalam satu ranah keilmuan. Itulah yang penulis rasakan ketika dituntut untuk berbicara oleh salah seorang temannya.
Sebelum era pradigital, manusia—atau kita lebih tepatnya—hanya seseorang yang menikmati berita. Pergeseran kemudian ditemukan tatkala memasuki dunia yang diklaim menawarkan kepraktisan. Akhirnya, siapapun dipaksa untuk berbicara dan mencoba menawarkan gagasannya masing-masing. Barangkali ini yang disebut sebagai demokratisasi wacana oleh Iqbal sebagai penulis. Sungguh menarik, jika kita melihat bagaimana wacana tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu.
Dahulu, yang mewartakan wacana hanya orang yang sudah melewati proses seleksi yang ketat. Ada kompetensi-kompetensi yang harus dipenuhi jika memang hendak menawarkan wacana. Kasarnya, ada serangkaian usaha eklektik dari pihak media(waktu itu masih cetak) untuk menampilkan gagasan yang ditawarkan seseorang. Berbanding terbalik dengan era digital yang kesemuanya tidak pernah melewati fase seleksi, tidak ada usaha eklektik. Apalagi jika disangkut pautkan dengan media sosial yang setiap orangnya memang berhak coret-coret di dinding masing-masing.