Merajut Moderasi di Tengah Gelombang Radikalisme

30 views

Di tengah arus globalisasi yang memicu fragmentasi identitas, masyarakat multikultural menghadapi dua tantangan besar, radikalisme yang mengeras dalam klaim kebenaran absolut dan Islamofobia yang menyuburkan prasangka. Keduanya menjadi ancaman serius bagi koeksistensi.

Dalam konteks ini, konsep ummah wasath (komunitas moderat) dalam Islam, filsafat toleransi Ibn Arabi, serta inisiatif seperti Dokumen Persaudaraan Manusia (2019) menawarkan perspektif segar tentang bagaimana moderasi dan dialog antaragama dapat menjadi solusi struktural.

Advertisements

Jalan Tengah

Konsep ummah wasath termaktub dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 143), yang menekankan prinsip keseimbangan, keadilan, dan penolakan terhadap ekstremisme.

Dalam konteks globalisasi, di mana polarisasi ideologi menguat, ummah wasath tidak sekadar jargon teologis, melainkan kerangka etis untuk merespons kompleksitas masyarakat plural.

Menurut cendekiawan seperti Abdullah Saeed, globalisasi memicu dua reaksi berlawanan. Sebagian kelompok memilih isolasi dengan menebar narasi eksklusivis, sementara lainnya larut dalam relativisme budaya. Ummah wasath hadir sebagai jalan tengah yang mengakui keragaman tanpa kehilangan identitas, serta menolak radikalisme maupun asimilasi buta.

Fungsi sosial ummah wasath terlihat dalam praktik komunitas Muslim di negara multikultural seperti Indonesia. Di sana, nilai tawassuth (moderasi) diterjemahkan dalam kerja sama antarkelompok agama, seperti pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Namun, tantangan tetap ada; bagaimana memastikan konsep ini tidak direduksi menjadi alat politik, melainkan benar-benar menjadi gerakan kultural yang melibatkan semua pihak.

Filsafat Toleransi yang Terlupakan

Pada abad ke-13, Ibn Arabi, sufi besar Andalusia, telah menggagas filosofi toleransi berbasis wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi). Baginya, semua agama adalah manifestasi singularitas Ilahi yang sama, hanya berbeda dalam ekspresi.

Dalam Fusus al-Hikam, ia menulis, “Hati seorang beriman harus cukup luas untuk menerima semua bentuk kepercayaan.”

Pandangan ini bertolak belakang dengan narasi eksklusivis yang mendominasi wacana keagamaan kontemporer, seperti kelompok yang menafsirkan teks agama secara literal dan menafikan legitimasi keyakinan lain.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan