MERAYU BULAN DI PESANTREN
Malam menanamkan sunyi,
riuh yang seharian bergemuruh
telah dibaringkan dalam kamar
pereda gelisah, tidur sementara
Ada di sudut pesantren
suara-suara lirih terdengar:
lafaz demi lafaz
melilit cahaya bulan.
Santri-santri duduk melingkar
seperti bintang di angkasa,
membentuk gugusan doa
menggema ke langit renta
Di lipatan dunia yang berbeda,
malam adalah waktu
untuk pesta, layar, dan kebisingan.
Namun di sini, tadarus berangsur dirapalkan
sebagai satu peristiwa penjagaan
di atas ketidakseimbangan zaman.
2024.
KITAB KUNING YANG TERBUKA
Di atas meja kayu tua,
kitab kuning terbuka.
Halaman-halamannya menyimpan jejak:
tinta hitam, tangan gemetar,
dan mata yang mencari cahaya.
Seorang bocah membacanya
dengan saksama,
setiap huruf adalah peta
amsal bagi pemburu kebajikan.
Tak seperti layar ponsel
yang berkelebat tanpa makna
dari satu huru hara
kepada huru hara lainnya.
“Dunia ini seperti kitab,”
kata seorang kyai,
“bacalah dengan hati,
bukan sekadar mata.”
Dan kitab itu terus terbuka,
menunggu siapa saja
yang segera & sedang
menggali makna.
damparalit, 2024.
JENDELA PESANTREN
Lewat jendela pesantren,
aku melihat gunung melipat kabut,
sawah menyulam hijau,
dan burung-burung yang tak peduli
pada kabel listrik yang merintangi jalan.
Dunia terasa sederhana di sini,
tak seperti layar-layar kaca
yang menjejalkan berita,
iklan, dan kepalsuan.
Di luar, manusia membangun tembok,
tebal perkasa membentuk jarak.
Sementara di sini,
kami belajar membuka pintu,
menyambut siapa saja
yang ingin pulang
kepada dirinya sendiri.
damparalit, 2024.