Tulisan ini sekadar catatan singkat untuk pertunjukan “Monolog Negeri Sarung”. Sabtu 27 Agustus 2022 kemarin, sebagai puncak perayaan hari jadi jejaring duniasantri yang juga bertepatan dengan bulan kemerdekaan, telah digelar sebuah pertunjukan berjudul “Monolog Negeri Sarung” yang berlangsung di gedung Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Depok, Jawa Barat.
Beberapa tokoh penting, seperti KH Said Aqil Siradj, Ibu Hj Sinta Nuriyah Wahid, Wakil Ketua DPR RI (HC) Rachmad Gobel, dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, turut menghadiri acara yang berlangsung pada pukul 11.00-14.00 WIB tersebut.
Penulis sendiri kebetulan mengikuti acaranya melalui kanal Youtube, sehingga tidak bisa menggambarkan bagaimana riuh meriahnya suasana di sana berlangsung. Tetapi, walaupun begitu, melalui tangkapan layar laptop penulis, nampak bahwa acara berlangsung dengan baik dan asyik, apalagi ketika pentas Monolog Negeri Sarung itu berlangsung.
Rasa penasaran dan antusiasme penulis mengikuti adegan beserta tiap perkataan dan joke pemeran monolog yang betul-betul mengena, aktuil, dan kritis. Tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerahkan.
Pemerannya adalah seorang perempuan, tak lain adalah putri Gus Dur, Mbak Inayah Wulandari Wahid. Beliau adalah seniman, budayawan, yang menerusi keberanian sang ayahanda, Gus Dur, yang kita kenal semua berasmo lengkap Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia.
Gus Dur, seorang yang suka humor dan berhumor. Humornya selalu berwawasan sejarah, pengetahuan, luas merambah aneka bidang kehidupan, dan tidak pernah meleset sasaran. Mbak Inayah Wahid, sebagaimana sang ayahanda, juga melakukan humor dengan lancar, tajam, kritis, dan menohok pada kekuasaan. Hal-hal yang ditekankan tentu saja soal-soal rakyat, soal kemanusiaan. Dengan lantang tanpa menghilangkan kesahajaannya, kritik-kritik itu berkeluaran menggelitik perut dan nalar.
Tidak seperti pada stand up comedy biasa, pada Monolog Negeri Sarung humor itu berwawasan dan mengedepankan nalar kritis dengan posisi stand up yang jelas, yaitu pada kemanusiaan, keadilan, kebenaran. Tawa adalah bumbu yang bukan menjadi tujuan utama, tetapi sebagai penguat dalam ingatan, bahwa ada yang penting perlu kita renugkan.